Selasa, 20 November 2018
Catatan Tak Bermakna
By Sastrawan Liar November 20, 2018
Senja, pada bibir cakrawala kau meronakan jinga. Tapi bibir sang anak petani pucat karena nadinya tak lagi menyalurkan darah pengharapan.
Tabah anak petani, tuhan menjadi milik penguasa.!
Teguklah secangkir tangis di bawah senja sebagai asa pengganti kopi
Airmu tak lagi manis, berganti pahitnya air duka dari kelopak
Golok tak lagi menembus batokmu
Para-para merindukan pelukan asap dari tumpukan gonofu
Papa & mamaku hanya duduk menjadi saksi tunas di ujung malogara
Tragedi di atas lembaian nyiur yang menarikan duka tuan
Gerobak sapi yang biasanya menjadi pangung nyanyian anak petani
Tersulap bak gerobak pengantar jenasah
Anak petani menjerit, ancaman merongrong di sepanjang tapak yang ia jejaki
Tunggu saja, kematian telah menyediakan surga saat jasad, jiwa dan rohmu di cerai-beraikan sakratul maut
Hahahaha, para penguasa sedang kebingungan.!
Pengusaha sedang memikirkan siasat
Para wakil-wakil rakyat duduk dengan segumpalan pencitraan.!
Duduk menertawakan rakyat di balik jendela-jendela kemunafikan
Ah, nasib.!
Kudeta? Mari kudeta saja.!
Kudeta agar kau turun dari jabatan anak petani dan rakyat
Revolusi, dapatkah kau menumbangkan kemiskinan?
Hehehe... mungkin cerita ini hanya di Kuba, Rusia dan nyata dalam setiap buku yang ku baca.
Lalu dapatkah Tuhan ku hidangkan secangkir kopi? Sekedar berdiplomasi!
Nampaknya kemiskinan membuat Tuhan pun tak sudi duduk bersimpuh menikmati kopiku.
-Asterlita Tr-
Tondano, 20 November 2018
Categories: Puisi