Rabu, 13 Desember 2017

Inilah Kisah Orang-Orang Sosialis Paling Awal Di Hindia Belanda Yang Berkiprah Di Tengah Berbagai Pembatasan Politik

Sebelum PKI Berdiri: Lingkaran Kaum Sosialis di Surabaya

Leendert J.D. Reeser adalah guru sejarah dan ilmu bumi di Hogere Burgerschool (HBS) Surabaya. Tubuhnya gempal, pipinya tembam, kepalanya bulat kokoh seperti tokoh sosialis Perancis Jaures. Kulitnya kemerahan. “Semerah dirinya,” tulis Annie-Romein Verschoor, penulis Belanda yang pernah menjadi siswa HBS Surabaya pada awal abad 20 (Verschoor, 1971).

Kenangan Annie memberikan gambaran mengesankan tentang Reeser. Si Merah ini memulai pelajaran dengan duduk di bangku pengajar, meletakkan kacamata dan menyalakan cangklong. Dengan cangklong yang melekat di bibir, Reeser mengisahkan berbagai peristiwa sejarah di Eropa dan Hindia. Lalu melontarkan pertanyaan tentang hak-hak penduduk pribumi, kedudukan perempuan, dan posisi sebagai orang Eropa terkait kolonialisme. Annie, siswa perempuan yang duduk di barisan depan, menuturkan betapa tersiksanya mendapat pertanyaan Reeser yang menghunjam.

Satu pesona menarik Reeser yang terus diingat Annie: kebiasaannya berdiri di atas bangku depan kelas, berorasi meniru gaya senator Romawi di podium tribunal. Gaya seperti ini pula yang mengilhami Sukarno berlatih pidato dengan berdiri di atas meja dalam kamar kos di kediaman Tjokroaminoto. 

Di luar pekerjaannya sebagai guru, sosok Reeser yang eksentrik seringkali menjadi gunjingan siswa. Ia sendiri tak pernah menutupi pandangan nyinyir tentang keluarga kerajaan Belanda dan menjadi gunjingan di komunitas kecil masyarakat Eropa di Kota Surabaya. Setiap akhir pekan, ia kerap membawa isterinya menghabiskan waktu di klub pelaut Marinegebouw di Oedjoeng (pelabuhan Tanjung Perak). Isterinya pun terkadang turut berdansa dengan para pelaut yang menambah bumbu pergunjingan tentang sosok Reeser.

Reeser memberi gambaran menarik sosok sosialis Belanda di Hindia dan kiprah politiknya pada peralihan abad. Dalam arus besar historiografi pergerakan awal abad 20, kisah Reeser memang terlewatkan untuk jangka waktu panjang. Esai ini ingin menggarisbawahi kekurangan yang ada dalam penulisan sejarah Indonesia dengan mengangkat sosok Reeser dan kiprahnya yang menandai awal perkembangan sosialisme modern di Hindia-Belanda pada awal abad 20.

Kedatangan Orang-Orang Sosialis Awal

Sebagai seorang muda yang penuh semangat, Reeser terlibat dalam pergerakan sosialis dan menjadi anggota aktif Social Democratische Arbeiders Partij (SDAP) atau Partai Buruh Sosial Demokrat di Belanda. Ia menceritakannya sendiri lewat sebuah artikel yang ditulis pada 1899, dua tahun sebelum keberangkatannya ke koloni. Ia menulis artikel bersambung tentang perkembangan sejarah kontemporer dunia memasuki akhir abad 19.

Dalam tulisannya, ia menekankan semangat zaman pada fin de sicle (akhir abad) tentang “kemenangan altruisme melawan egoisme” melalui kebangkitan gerakan buruh yang terjadi di benua Eropa. Ia mengutip pernyataan menarik dari Ulrich von Hütten, seorang humanis dan tokoh reformasi Jerman abad ke-16, bahwa “betapa menyenangkannya hidup, karena semangat zaman telah bangkit” (“Overzicht der Wereldgeschiedenis in het jaar 1898”. Vragen van den dag, Jilid I, 1899). Altruisme dan kebangkitan semangat zaman baru itu terus melekat dalam diri Reeser ketika mulai bekerja di Hindia pada peralihan abad tersebut.

Reeser mulai mengajar di HBS pada 1902. Setahun kemudian, ia diangkat sebagai guru tetap sekolah itu. Situasi di koloni ketika ia mulai mengajar memang berbeda dengan semangat kebangkitan zaman baru di benua Eropa. Sesuai konstitusi pemerintah kolonial (Regerings Reglement 1854), koloni adalah wilayah terlarang untuk setiap jenis aktivitas politik, termasuk kegiatan politik yang dilakukan warga Eropa.

Aturan tersebut baru direvisi pada 1916 seiring reformasi politik Gubernur Jenderal Idenburg yang menginginkan perubahan bertahap di koloni. Namun, sebelum perubahan itu terjadi, situasi di koloni saat kedatangan Reeser jauh dari gegap gempita zaman baru di Eropa. Semangat altruisme zaman baru tersebut harus menghadapi kenyataan egoisme kehidupan sehari-hari orang Eropa di koloni: sekadar mencari peruntungan hidup dan segera pulang kembali ke kampung halaman dengan tabungan yang gemuk “sebelum menjadi tua di Hindia”.

Namun, Reeser bukan penonton pasif dalam gerak sejarah. Dengan segala keterbatasan di koloni, pada Juli 1903, ia menulis surat pembaca di harian Het Volk, organ SDAP, yang menyerukan kegiatan penggalangan dana di antara kaum sosialis yang tinggal di koloni sebagai sumbangan bagi persiapan partai mereka menghadapi pemilu 1905 di Belanda. Surat pembaca itu terbit pada 19 Juli 1903 di kolom kecil Het Volk yang menyampaikan pandangan aktivis yang tidak sudi tinggal diam.

“Bersama seorang teman di Jawa Barat, saya telah mempersiapkan pembentukan perkumpulan penyumbang (Kontributie Vereeniging),” tulis Reeser. “Anggota perkumpulan ini nantinya akan memberi sumbangan wajib sebesar f 1 setiap bulan. Nama penyumbang akan tetap dirahasiakan dan sumbangan dikirim atas nama saya melalui kwitansi lewat pos” (“Een Indisch Verkiezingfonds”, Het Volk, 19 Juli 1903).

Meski perkumpulan itu terbatas pada kalangan warga Belanda di Hindia, Kontributie Vereeniging sesungguhnya telah menjadi perkumpulan awal kaum sosialis. Namun sifat rahasia perkumpulan itu menyebabkan kiprahnya segera dilupakan.

Jejak sejarah Kontributie Vereeniging baru menjadi perhatian ketika Ir. Charles G. Cramer, tokoh pendiri Indische Social-Democratische Partij (ISDP) yang kemudian menjadi anggota Volksraad, mengungkapkan keterlibatannya dalam kegiatan pengumpulan dana yang dilakukan KV dalam wawancara yang terbit di Het Vrije Volk pada 20 Oktober 1959. Bertepatan dengan momen perayaan usianya yang ke-80. Menurut Cramer, ia telah menjadi bagian perkumpulan penyumbang itu dengan nomor keanggotaan 48.

Jumlah penyumbang menurutnya mencapai 68 orang. Tidak ada nama dan alamat penyumbang yang disebutkan, selain nomor urut anggota dan besarnya sumbangan yang diberikan. Sampai tahun 1910, Cramer menyatakan bahwa KV telah berhasil mengumpulkan sejumlah f 2.672,02 yang langsung dikirim ke pengurus SDAP di negeri Belanda (“Ch. G. Cramer Tachtig Jaar”. Het Vrije Volk, 20 Oktober 1959).

Seperti Reeser, Cramer adalah tokoh sosialis Belanda di Hindia awal abad ke-20. Ia lahir di Sidoarjo, Jawa Timur, dari keluarga Eropa yang telah lama bermukim di Hindia. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah, Cramer melanjutkan pendidikannya di Universitas Delft yang menjadi pusat perkembangan pemikiran Marxisme di kalangan mahasiswa — situasi yang membuat kampus itu dianggap “kampus merah”. Kampus ini juga melahirkan banyak pimpinan sosialis seperti Ir. H. Van Kol, pendiri SDAP. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Cramer kembali ke Hindia-Belanda dan bekerja sebagai tenaga ahli pada Dinas Pengairan dan Pekerjaan Umum (Waterdienst en Burgerlijke Openbare Werken) di tempat kelahirannya.

Kesaksian Cramer mengundang Reeser menulis tanggapan dalam surat pembaca di surat kabar yang sama dan menulis ihwal Kontributie Vereeniging. Reeser juga menjelaskan mengapa dana yang terkumpul baru dapat dikirimkan pada 1910, terlambat 5 tahun dari rencana. Menurut Reeser, perkumpulan tersebut kesulitan melakukan pengiriman dana ke SDAP karena ketakutan De Javasche Bank atas sifat politik di balik pengiriman dana tersebut. Dalam era ketika koloni merupakan wilayah yang tertutup secara politik, bank tersebut tidak mau mengambil risiko bertentangan dengan pemerintah. Perkumpulan tersebut terpaksa menunda pengiriman dana dan memindahkan uang perkumpulan ke bank lain yang memungkinkan dilakukannya pengiriman.

Kaum Sosialis sebagai Middenstand

Diktum tentang basis yang menentukan superstruktur mendapatkan tempatnya dalam kisah dan kiprah Reeser yang mengilustrasikan fase paling awal perkembangan sosialisme modern di Hindia-Belanda.

Karl Marx baru merampungkan tesis utama dalam Das Kapital tentang eksploitasi nilai lebih pada kapitalisme modern setelah meninggalkan Jerman dan menetap di Inggris, pusat kemajuan kapitalisme modern. Begitu juga dengan perkembangan gagasan sosialisme modern di koloni Hindia-Belanda. Ia tidak berkembang di Batavia yang menjadi pusat administrasi kolonial, tetapi di Surabaya yang merupakan pusat industri dan perdagangan di Hindia-Belanda awal abad 20.

Uraian tentang sejauh mana Surabaya tumbuh sebagai pusat industri penting di koloni dapat dilihat dalam ulasan tokoh sosialis Belanda lain, Van Kol, yang mengunjungi kota tersebut pada 1903. Van Kol menyebut sumber kekayaan yang muncul di Surabaya berasal dari produksi tanaman tebu di sekitar Pasuruan dan Besuki yang mencapai 22.445 bouw atau 22 persen dari seluruh lahan tebu yang ada di Jawa. Perhitungan ini belum memasukkan lahan-lahan di pusat penanaman tebu di Jombang, Kediri, dan Malang sebagai kawasan hinterland yang menjadi tulang punggung perkembangan ekonomi di Surabaya.

Ia melihat Surabaya sebagai pusat industri yang tak terbantahkan melalui keberadaan pabrik mesin uap, galangan kapal, gudang-gudang kopi, gula dan minyak, pabrik semen dan penggilingan kopi; selain kompleks industri berat, pabrik baja dan kimia di wilayah pelabuhan yang membentuk lingkungan kota, serta produksi persenjataan modern di koloni (“Uit Onze Kolonie”. Soerabajasch Handelsblad. Van Kol, 1903).

Van Kol juga menyempatkan diri menyusuri sudut-sudut lain kota sepanjang kompleks pabrik dan persimpangan jalan menuju gang-gang perkampungan pribumi pada malam hari. Ia menulis bagaimana di balik kemajuan kota terdapat sisi kelam kemiskinan yang tampak dari rumah-rumah bordil dari bambu sederhana tempat para pelacur Jepang, Indo-Eropa, Tionghoa dan Pribumi bekerja pada malam hari. Van Kol menuturkan, secara berkala dokter rumah sakit di kota itu memeriksa kesehatan sekitar 50 sampai 60 pekerja seks komersial di lingkungan yang menjadi pusat penyebaran sifilis dan penyakit kelamin lainnya.

Rumah sakit umum (Stadsverband) yang menjadi fasilitas kesehatan publik juga, dalam tinjauan Van Kol, bukan layaknya rumah sakit. Ia lebih menyerupai penjara dengan jeruji hitam dan gembok besar yang menyebabkan penduduk pribumi lebih memilih berobat secara tradisional dari dukun-dukun kampung.

Tempat lain yang juga dikunjungi Van Kol adalah tangsi-tangsi tentara yang menampung veteran perang dari para serdadu Ambon dan orang-orang Eropa miskin dengan praktik pergundikan yang umum sepanjang akhir abad 19. Buah dari pergundikan ini adalah lahirnya orang-orang Indo-Eropa. Dalam konsepsi umum orang Eropa pendatang, kaum Indo mengalami kemerosotan moral di bawah pemeliharaan ibunya, yang menjadi gundik orang-orang Eropa saat bertugas di koloni. Mereka lekat dengan kemiskinan yang jauh dari standar hidup layak orang-orang Eropa.

Dalam suasana seperti itulah kaum sosialis Belanda membangun lingkaran pergaulan yang terbatas di koloni. Kesamaan latar belakang pekerjaan membuat mereka menjadi begitu menarik. Orang-orang itu kebanyakan bekerja sebagai insinyur dan guru yang menempati posisi lapis menengah dan bawah struktur sosial di kota-kota kolonial. Mereka juga mendukung SDAP dan turut aktif menggulirkan pembentukan perkumpulan sosial demokrat di Hindia.

Selain Reeser, kaum sosialis di Surabaya meliputi nama-nama seperti Van Ravensteyn (kepala sekolah HBS Surabaya), Van Burink, C. Hartogh, dan Bernard Cooster yang kediamannya menjadi tempat tinggal Sneevliet. Mereka bagian dari pengelompokkan sosial baru di kota-kota kolonial Hindia-Belanda yang mewakili kalangan middenstand atau pekerja lapis menengah bawah di dalam struktur birokrasi kolonial. Umumnya mereka berprofesi sebagai guru dan tenaga penyelia di departemen teknis pemerintah seperti Cramer dan Reeser.

Kaum Sosialis Membawa Gagasan Modern

Meski ruang gerak kaum sosialis dibatasi undang-undang, mereka tetap terlibat dalam serangkaian agenda politik. Tidak lama setelah pemerintah kolonial menggulirkan reformasi politik menjelang pembentukan dewan kota sebagai lembaga kunci dalam kehidupan politik warga, pada Januari 1906, di Surabaya dibentuk Komite Pemilihan (Verkiezingscomitte). Komite ini mempersiapkan warga kota dalam pemilihan wakil-wakil mereka di dalam dewan. Van Ravensteyn dan Reeser duduk sebagai ketua dan sekretaris komite. Pengaruh pandangan politik keduanya segera terlihat.

Pertama, komite memutuskan mengundang kehadiran perempuan dalam proses pemilihan meski ketetapan pemerintah tidak memberi perempuan hak untuk memilih dan dipilih. Mereka membuat proses pemilihan di Surabaya sangat berbeda di Batavia, Bandung, dan Semarang. Pemilihan di Surabaya menjadi satu-satunya proses yang membuka pintu bagi kaum perempuan dan mengizinkan mereka di dalam rapat umum warga kota.

Kedua, komite memutuskan mengirim undangan kepada 25 warga pribumi, Tionghoa, dan Timur Asing lain untuk hadir dalam proses pemilihan. Komite memberikan kesempatan kepada mereka untuk turut serta menyampaikan pandangan dan harapan di hadapan para kandidat dari warga Eropa (“De Kiesvergadering te Soerabaja: Mededeelingen van het Verkiezingscomite”. Soerabajasch Handelsblad. 22 Januari 1906).

Setelah Dewan Kota terbentuk, kiprah Reeser dan perhatiannya terhadap persoalan publik di Surabaya terus berlanjut. Pada 1909, dalam rapat pembentukan Surabaya Kiesvereeniging yang mempersiapkan kandidat bagi dewan kota, Reeser menyerukan agar dalam anggaran dasar perkumpulan tersebut memasukkan orang-orang pribumi dan kaum perempuan. Ia memperlihatkan penentangan arus besar sentimen rasialisme dan ideologi patriarki yang membentuk sikap kebanyakan warga Eropa di koloni.

Menelusuri kiprah Reeser memperlihatkan persoalan politik di Hindia jauh lebih luas dari sekedar tema yang tertera dalam penulisan sejarah Indonesia. Ras, kelas, gagasan nasionalisme, termasuk prinsip politik kewargaan, menjadi bagian penting dalam perkembangan kehidupan kota-kota kolonial awal abad ke-20.

Satu dekade kemudian, setelah pemerintah kolonial mencabut larangan kegiatan politik di koloni, lahirlah organisasi kaum sosial demokrat yang pertama di Hindia-Belanda dengan nama Indische Social-Demokratische Vereeniging (ISDV) atau Perkumpulan Sosial-Demokrat Hindia pada 9 Mei 1914. Dalam rapat yang melibatkan sekitar tiga puluh aktivis sosial demokrat di Marinegebouw, Reeser terpilih menjadi ketua ISDV yang pertama. Kantor pusatnya ditetapkan di Surabaya. Sementara Sneevliet, yang baru datang ke Hindia pada 1912, menjadi pemimpin redaksi Het Vrije Woord, organ perkumpulan tersebut yang bertempat di Semarang.

Sejak terbentuknya ISDV, pergerakan kaum sosialis Belanda mulai mendapatkan lahan untuk digarap. Hal itu menandai gerak zaman baru di koloni dalam apa yang disebut Shiraishi (1990) sebagai “penerjemahan kosa kata dunia modern” seperti sosial demokrasi, mogok, dan disiplin partai. Namun perkembangan ISDV juga menandai perpecahan kalangan sosialis Belanda di Hindia. Pecahnya Revolusi Rusia pada Oktober 1917 semakin meneguhkan keyakinan faksi radikal di ISDV bahwa revolusi kaum sosialis dapat dilakukan di negeri dengan tahap perkembangan kapitalisme yang masih terbelakang, seperti Rusia saat itu.

Sneevliet dan lingkaran politiknya di Semarang menginginkan partai yang lebih mandiri dari ikatan dengan negeri induk, dan langsung menjadi bagian dari gerakan komunisme internasional (Komintern). Posisi ini mendapat tantangan dari aktivis sosialis lain yang ingin mempertahankan afilisasi politik dengan SDAP di Belanda.

Crammer yang bertahan pada posisi terakhir pada akhirnya memisahkan diri dari ISDV dan bersama aktivis sosialis lainnya membentuk Indische Social-Democratische Partij (ISDP). Organisasi ini menjadi corong suara moderat kalangan sosial-demokrat di Hindia.

Dalam pertarungan politik tersebut, Reeser memutuskan kembali ke Belanda. Setelah itu, ia kembali lagi ke Hindia untuk bekerja dalam jabatan baru sebagai kepala sekolah HBS di Semarang. Ia memutuskan tidak lagi terlibat dalam kegiatan politik karena posisi barunya itu dan juga karena perkembangan-perkembangan baru yang terjadi di dalam pergerakan kaum sosialis di Hindia.

Perspektif Baru Sejarah Pergerakan Nasional

Cerita tentang sosok dan kiprah Reeser sepanjang satu dekade awal abad 20 telah menjadi petunjuk penting perkembangan sosialisme modern di Hindia-Belanda. Reeser menjadi petunjuk bahwa studi sejarah pergerakan nasional Indonesia awal abad 20 masih terlalu terbatas dan membutuhkan revisi lebih lanjut.

Para penulis sejarah Indonesia masa kini memang memiliki sebuah hambatan besar dalam melihat hubungan dan saling singgung dengan orang-orang, budaya, dan peradaban berbeda, terutama yang terkait latar belakang Eropa. Orang-orang Eropa, Belanda, dan peradaban Barat yang mereka bawa (sekali lagi akibat pengaruh inferioritas kompleks yang akut), telah dinihilkan dalam penulisan sejarah Indonesia sejak 1957 ketika ide historiografi Indonesia sentris mulai digagas. Akibatnya, penulisan sejarah Indonesia menjadi semakin terisolir dari perkembangan dunia yang lebih luas.

Pengaruhnya cukup nyata bukan saja dalam dunia tindakan tetapi juga pemikiran. Saat pertama kali bertemu Tjokroaminoto, Sneevliet sempat menyinggung bahwa ia sempat melihat Tjokroaminoto sibuk membaca De Socialisten: Personen en Stelsel dalam upaya membangun landasan teoritis dan program organisasinya (Perthus, 1976). Buku yang sedang dibaca Tjokroaminoto adalah karya besar Hendrik Peter Godfried Quack, seorang sejarawan, ahli hukum, dan tokoh pergerakan sosialis Belanda.

Di sini terdapat gambaran cukup jelas bahwa pergerakan orang-orang Indonesia bukan pergerakan yang berjalan sendiri. Ia senantiasa bersinggungan dengan perkembangan-perkembangan lain di Hindia dan dunia. Tjokroaminoto yang selalu digambarkan sebagai pemikir Islam, membangun horison pemikirannya lebih dari sekadar apa yang terjadi di Hindia semata. Ia harus beradaptasi dengan dunia pergerakan yang membawa serta ide perjuangan kelas di koloni. Ide tersebut tentu saja bersinggungan dengan persoalan ketimpangan rasial, modernitas kota kolonial, keterbelakangan cara produksi kapitalisme, serta saling kaitan gagasan modern barat dan nasionalisme Indonesia.

Keseluruhan tema ini memerlukan eksplorasi lebih dalam dibanding sekadar tema “keunikan sejarah Indonesia” di bawah bayang-bayang kajian wilayah (area studies), sebuah kajian yang dibakukan akademisi Barat. Dari rahim area studies itulah lahir serangkaian kajian awal tentang periode pergerakan nasional Indonesia. Dua contoh yang menonjol adalah karya Ruth T. McVey (1965) tentang kemunculan gerakan komunis di Indonesia dan Takashi Shiraishi (1990) tentang radikalisme kerakyatan di Jawa.

Dua magnum opus tersebut tidak dapat disangkal telah memberikan sumbangan besar dalam kajian sejarah Indonesia. Persoalannya adalah apakah para peneliti sejarah Indonesia cukup merasa puas untuk terus mereproduksi pemikiran lama dalam karya-karya yang sudah menjadi tua itu? 


Dengan mengingat adagium bahwa setiap generasi menulis sejarahnya sendiri, revisi dan pengayaan tema sejarah pergerakan nasional Indonesia tampaknya menjadi agenda penting bagi sejarawan Indonesia masa kini.

Deklarasi Djuanda melengkapi kepingan ke-Indonesia-an yang sebelumnya didahului Sumpah Pemuda & Proklamasi Kemerdekaan

Deklarasi Djuanda dan Ikhtiar Menyatukan Laut Indonesia
Di atas jalan beraspal, di rimbun hutan kota, di bendungan, di udara, nama Djuanda Kartawidjaja melekat. Ya, tokoh nasional kelahiran Tasikmalaya, 14 Januari 1911, ini menghiasi nama ruas jalan, taman hutan, waduk, hingga bandara. Seperti dalam sepenggal perjalanan hidupnya yang terus-menerus mengisi ruang di lingkaran para pengambil kebijakan (sempat menjadi Menteri Perhubungan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Pertahanan, Perdana Menteri).

Namun di atas semuanya, resonansi nama Djuanda yang paling menggetarkan adalah terkait dengan politik kewilayahan yang membuat posisi Indonesia sebagai negara kepulauan semakin kuat, yaitu Deklarasi Djuanda.

Jika diurutkan berdasarkan linikala, Deklarasi Djuanda yang berisi tentang satu kesatuan wilayah melengkapi kepingan ke-Indonesia-an yang sebelumnya didahului Sumpah Pemuda 1928 sebagai perlambang kesatuan bangsa, dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai wujud kesatuan negara. 

Deklarasi ini dicetuskan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda Kartawidjaja pada 13 Desember 1957. Deklarasi Djuanda merupakan pernyataan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia, menyatu menjadi satu kesatuan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perjalanan Panjang menuju Kedaulatan Laut

Pada mulanya, Deklarasi Djuanda mendapat tantangan keras dari hampir seluruh dunia karena dianggap bertentangan dengan Hukum Internasional. Saat itu, kekuasaan laut suatu wilayah hanya diakui selebar tiga mil yang diukur dari masing-masing pulau. Hukum Laut Internasional belum secara jelas mengakui laut dalam dan gugus kepulauan yang ribuan jumlahnya sebagai kesatuan wilayah.

Sebelum Deklarasi Djuanda, wilayah Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnatie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan warisan kolonial ini, pulau-pulau di Indonesia dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Hal ini berarti kapal asing bebas berlayar di atas perairan laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut. Dengan kata lain, kedaulatan setiap pulau di Indonesia dalam kondisi rentan. 

Prof. DR. Awaloedin Djamin, MPA, penyunting dan salah satu penulis buku Ir. H. Djuanda: Negarawan, Administrator, dan Teknokrat Utama (2001), menjelaskan bahwa dengan adanya undang-undang kolonial tersebut, Indonesia secara politik dan ekonomi sangat dirugikan. Tanah dan air Republik Indonesia belum terwujud dalam satu kesatuan yang utuh.

Langkah pertama memperjuangkan cita-cita kesatuan wilayah adalah dengan membawanya ke Konvensi PBB ke-1 tentang Hukum Laut di Jenewa pada Februari 1958. Dan seperti sudah diduga sebelumnya, karena oposisi yang terlalu keras, akhirnya Indonesia menarik kembali usulnya sebelum ditolak secara resmi oleh dunia internasional.

“Memang lebih bijaksana untuk mematangkannya terlebih dulu sebelum mengajukannya dalam suasana konferensi internasional, yang bila suasananya belum matang malahan dapat menolaknya, yang berarti dapat mematikan konsep itu sendiri,” tambah Awaloedin.

Menjelang Konvensi PBB ke-2 tentang Hukum Laut di Jenewa pada April 1960, pemerintah Indonesia kemudian meresmikan isi Deklarasi Djuanda melalui Undang-Undang/Prp No. 4/1960 pada Februari. Kenyataannya, konferensi tersebut tidak lagi membicarakan masalah negara kepulauan, namun memusatkan perhatian kepada batas terluar dari laut wilayah (3 mil, 12 mil, atau 6 mil laut wilayah ditambah 6 mil zona perikanan), yang ternyata kemudian juga gagal mencapai kesepakatan.

Sementara di dalam negeri, pemerintah Indonesia tetap menjalankan Undang-Undang/Prp No. 4/1960, meski mendapat banyak protes dan kecaman dari dunia maritim internasional. Implementasi undang-undang tersebut adalah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 8/1962 tanggal 25 Juli 1982 untuk mengatur lalu lintas laut damai bagi kendaraan air asing yang melalui perairan Nusantara Indonesia, dan Keppres No. 103/1963 yang menetapkan seluruh perairan Nusantara Indonesia sebagai satu lingkungan laut yang berada di bawah pengamanan Angkatan Laut Republik Indonesia.

Sepuluh tahun setelah Deklarasi Djuanda diumumkan, timbul berbagai pemikiran di dunia internasional untuk membahas kembali masalah kelautan. Hal ini, menurut Awaloedin Djamin, dilandasi beberapa hal: 

  1. Makin banyaknya negara-negara di Asia dan Afrika yang baru merdeka, yang merasa tidak pernah ikut membuat Hukum Laut Internasional pada masa lalu, dan karena itu ingin lebih berperan dalam menentukan dan membela kepentingannya.
  1. Terjadinya kecelakaan kapal tangki Torrey Canyon pada 1967 di Selat Dover yang menimbulkan polusi laut di pantai Inggris dan Prancis, yang kemudian menimbulkan permasalahan hukum perlindungan lingkungan laut.
  1. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan yang memungkinkan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di dasar laut dalam, yang terletak jauh dari wilayah nasional, sehingga menimbulkan masalah kepemilikan atas kekayaan alam tersebut. 
  1. Makin maraknya eksploitasi perikanan di laut oleh negara-negara penangkap ikan jarak jauh yang tidak membawa keuntungan apa pun bagi negara-negara pantai yang lebih dekat dengan sumber perikanan tersebut.
  1. Semakin menghebatnya Perang Dingin yang memerlukan mobilisasi angkatan laut masing-masing melalui selat-selat dan laut-laut yang sangat strategis, terutama di Asia Tenggara.
Poin-poin itulah yang mendorong dunia internasional untuk mengadakan Konvensi Hukum Laut Internasional PBB ke-3 yang berlangsung dari 1973 sampai 1982. Hal ini tentu saja menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk kembali memperjuangkan isi Deklarasi Djuanda agar diakui dunia. 

Kali ini langkah Indonesia semakin kuat dengan didahului serangkaian upaya penggalangan dukungan. Forum-forum resmi yang bersifat akademis digelar di tingkat internasional, terutama dukungan dari sesama negara kepulauan seperti Filipina, Fiji, dan Mauritius, negara-negara Asia-Afrika (khususnya yang tergabung dalam Asian African Legal Consultative Committee). 

Selain itu, Indonesia juga mengembangkan kerja sama dengan beberapa negara pantai di Asia-Afrika dan Amerika Latin. Negara-negara maju yang memiliki garis pantai panjang seperti Kanada, Australia, Selandia baru, Norwegia, dan Eslandia, juga dijajaki.

Pada kesempatan ketiga inilah Indonesia tidak hanya memperjuangkan konsep kesatuan wilayah darat dan laut, tapi juga udara. Ini berarti seluruh kekayaan alam yang terkandung dalam bumi Indonesia. 

Unsur-unsur kesatuan kewilayahan ini yang kemudian diakui dalam Konvensi Hukum Laut PBB di Montego Bay, Jamaika, pada 10 Desember 1982. Tiga tahun kemudian, 31 Desember 1985, Indonesia meratifikasi Konvensi melalui Undang-Undang No. 17/1985, yang berlaku secara internasional sejak 16 November 1994.

Dalam Hukum Perikanan Nasional dan Internasional (2010), Marhaeni Ria Siombo menjelaskan, negara kepulauan yang dimaksud dalam Konvensi Hukum Laut tersebut adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.

“Berdasarkan Konvensi Hukum Laut tersebut Indonesia diakui sebagai Negara Kepulauan (Archipelago State). Untuk itu pengembangan potensi budaya, sosial, politik, dan hukum ke-Indonesia-an dapat membangun ciri khas kelautan sebagai identitas bangsa Indonesia,” tulis Mhd Halkis dalam Konstelasi Politik Indonesia: Pancasila dan Analisis Fenomenologi Hermeneutika (2017) terkait keberhasilan Indonesia di Montego Bay. 


Dengan diakuinya Indonesia sebagai negara kepulauan, maka apa yang dicita-citakan puluhan tahun sebelumnya dalam Deklarasi Djuanda, boleh dibilang telah tunai. Hari ini, cita-cita tersebut dipertaruhkan lewat visi "Indonesia sebagai poros maritim dunia" besutan Presiden Joko Widodo. 

Selasa, 12 Desember 2017

Brutalnya Tentara Belanda Membantai Penduduk Desa di Karawang

Brutalnya Tentara Belanda Membantai Penduduk Desa di Karawang
Ilustrasi pembantaian di Rawagede. 

Pengadilan Den Haag menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan harus membayar kompensasi pada 2012.

Kabut mesiu.
Hujan merah mengguyur
antero desa.

Alphonse Jean Henri Wijnen alias Fons harus meninggalkan anak istrinya di Belanda. Laki-laki yang di masa Perang Dunia II ikut resistensi melawan tentara Jerman ini mesti dikirim ke Indonesia. 

Nama Alphonse Wijnen, dalam A Bridge Too Far: The Classic History of the Greatest Battle of World War II (2010) karya Cornelius Ryan, disebut sebagai letnan satu dalam Princes Irene Brigade. Menurut catatan majalah bulanan veteran Checkpoint (Nomor 8, Oktober 2012: 22) dalam artikel "Dodental Rawagede-Strookt Niet Met Werkelijkheid" yang ditulis Dick Schaap, tahun 1947 Wijnen adalah Mayor dalam staf Brigade Infanteri ke-2. 

Pagi buta pukul enam, persis hari ini 70 tahun lalu, pada 9 Desember 1947, Mayor Wijnen adalah militer dengan pangkat tertinggi di antara serdadu-serdadu Belanda yang sedang berjalan kaki ke sebuah desa di perbatasan Karawang dan Bekasi. Kala itu, desa tersebut masih bernama Rawagede. Para bawahan Wijnen adalah serdadu dari Batalyon ke-3 Resimen Infanteri ke-9. 

Menurut keterangan salah satu tentara bernama Sersan Fokke Dijkstra yang dikutip majalah Checkpoint, kala itu mereka berjumlah 90 orang. Pengakuan Dijkstra yang lain, yang dikutip dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950 (2016), dirinya adalah Sersan Intelijen Wajib Militer di Batalyon ke-3 Resimen Infanteri ke-9 (hlm. 150). 

Sementara sumber lokal seperti tempo.co (09/12/2011) dan Kompas.com (18/09/2011) menyebut jumlah pasukan sebanyak 300-an personil. Lazimnya memang seorang Mayor memimpin ratusan orang. 

Dalih mereka memasuki desa itu adalah mencari Lukas Kustaryo. Di mata serdadu-serdadu Belanda, Lukas adalah begundal Karawang. Ia sulit dibekuk dan kerap merugikan militer Belanda di daerah tersebut. Laki-laki kelahiran Magetan yang mereka cari itu, menurut Hario Kecik dalam Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2010) adalah mantan Budancho (komandan regu, setara sersan) dalam Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) di zaman Jepang (hlm. 34). 

Setelah Indonesia merdeka, seperti ditulis Dien Madjid dkk dalam Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moeʼmin (1999), di tahun 1947, Lukas adalah Komandan Kompi dari Batalyon Banu Mahdi. Satuan itu termasuk dalam Divisi III Siliwangi yang dipimpin Kolonel Abdul Haris Nasution (hlm. 244). 

Pembantaian yang Terus Membekas dalam Ingatan

Pasukan Belanda itu dipecah menjadi tiga kelompok. Dijkstra ikut dalam kelompok yang masuk dari sisi kiri. Senjata api pasukan terdiri dari senapan, senapan otomatis Sten Gun, dan mortir 2 inci. 

"Sekitar pukul sepuluh kami menghadapi perlawanan yang kuat. Memang ada konsentrasi anggota geng yang bersembunyi di daerah Rawagede untuk mencegah kita mencapai kampung," tutur Dijkstra di majalah Checkpoint (hlm. 22). 

Perlawanan itu memang dimaksudkan agar tentara Belanda tak mencapai kampung. Sementara mereka sendiri berharap, orang yang sedang dicari bertempur melawan mereka. 

Perlawanan berhasil dipadamkan pasukan di mana Fokke ada di dalamnya. Sampai di kampung tujuan, mereka tak menemukan orang yang dicari. Padahal mereka sudah jauh berjalan kaki. Jadilah mereka sebagai tentara pendudukan di desa, tanpa hasil perburuan seperti yang diharapkan. 

“Tentara Belanda pun memerintahkan semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja belasan tahun di kampung itu berdiri berjejer dan memberondong mereka dengan senapan. Diperkirakan 431 orang meninggal akibat penembakan tersebut,” demikian tulis sebuah berita di antaranews (11/12/2011). 

“Semua laki-laki diperintahkan keluar dari rumah, lalu disuruh berbaris. Terus kepala mereka ditembak dengan senapan pasukan Belanda, hanya wanita dan anak-anak saja yang lolos," ujar Wanti, salah satu janda korban pembantaian Rawagede, seperti dilansir antaranews. 

Pembunuhan itu tentu akan dibandingkan, bahkan disamakan, dengan pembunuhan yang dilakukan pasukan khusus Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan Kapten Raymond Paul Pierre Westerling di Sulawesi Selatan—peristiwa yang terjadi hampir setahun sebelumnya. Dalam tragedi itu, ribuan orang dibantai. Tercatat, apa yang dilakukan pasukan Westerling adalah rangkaian tur pembantaian dari desa ke desa. 

Peristiwa Rawagede tidak dirancang seperti tur pembantaian Westerling. “Bagi kami, aksi 9 Desember 1947 hanya tindakan yang relatif kecil. Menjelang pukul lima kami kembali ke bivak kami,” aku Fokke Dijkstra di majalah Checkpoint. 

Menurut Dijkstra, korban yang terbunuh sekitar 31 orang. Sementara sumber lokal menyebut 431 orang. Dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950, ia merasa kesatuannya “difitnah telah melakukan pembunuhan atas 431 penduduk desa. Dari jumlah itu bisa dikurangi dengan mudah empat ratus” (hlm. 150). Ia merasa itu tidak adil. 

Berapapun jumlahnya, penduduk desa yang statusnya sipil haram dibunuh. Negara dan tentara beradab di mana pun, paham konvensi ini. Setelah puluhan tahun, pembantaian di Rawagede masih diingat. Meski Rawagede kini sudah bersalin nama menjadi Balongsari. 

Pemerintah Belanda Dinyatakan Bersalah

Sejak tahun 2006, sebuah kelompok yang menamakan diri Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) bersama para janda dan saksi korban pembantaian Rawagede menggugat Pemerintah Belanda. Mereka menuntut permintaan maaf maupun ganti rugi. Liesbeth Zegveld, pengacara dari biro hukum Bohler, mendampingi mereka. 

Alhasil, pada 14 September 2011, Pengadilan Den Haag menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggung jawab. Mereka juga diwajibkan membayar kompensasi sebesar 20 ribu euro atau sekitar Rp240 juta untuk tiap korban.

Sebesar apapun jumlah yang diterima, tetap saja nyawa bukan sesuatu yang bisa ditebus dengan uang. Sejarawan senior Anhar Gonggong, yang ayahnya menjadi korban pembantaian Westerling, suatu kali pernah berujar: "yang terbunuh tidak akan bisa dihidupkan lagi."

Seharusnya memang ada hukuman bagi perwira pelaku pembantaian. Sang Mayor yang berwenang ketika pembantaian Rawagede itu belakangan hidup terhormat. Ia tak menjalani hukuman layaknya penjahat perang.

Menurut Cornelius Ryan (2010), Wijnen adalah letnan kolonel komandan garnisun infanteri di Eindhoven. Pangkat terakhirnya Kolonel. Sementara itu, menurut catatan Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD (1988: 172), Lukas Kustaryo yang dicari-cari belakangan jadi komandan di TNI dengan pangkat terakhir brigadir jenderal. 


Setiadjit: Anggota Parlemen Belanda, Dihukum Mati karena PKI Madiun

Setiadjit: Anggota Parlemen Belanda, Dihukum Mati karena PKI Madiun
Setiadjit bergabung dalam kelompok perlawanan antifasis ketika Belanda diduduki Jerman

Setiadjit hengkang dari dunia anak muda yang penuh hura-hura dan jadi pembela buruh di Belanda dan Indonesia.

Bersekolah adalah tujuan utama dikirimnya Setiadjit Soegondo ke Belanda pada 1927. Dia tiba bersama Soedrio Miewalladi. Keduanya dari keluarga berada. Soedrio anak dokter Jawa dan Setiadjit anak Bupati. Keduanya lulusan sekolah menengah elit yang cuma sedikit jumlahnya di Hindia Belanda. 

Mereka juga pernah aktif dalam Perhimpoenan Indonesia (PI). “Tahun 1929-1930 Setiadjit kebanyakan berada di Berlin,” tulis Harry A. Poeze dkk dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008). 

Tak banyak catatan tentang latar belakang Setiadjit. British documents on foreign affairs: reports and papers from the Foreign Office confidential print. From 1946 through 1950. Asia 1947. Japan and China, January 1947-December 1947 (Bagian 4, Volume 3, 2001), menyebut, dia “lahir tahun 1910 dari keluarga Aristokrat.”

Sementara Jennifer L. Foray dalam Visions of Empire in the Nazi-Occupied Netherlands (2011), menyebut usianya sudah 20 tahun ketika tiba di Belanda. Jadi dia lahir tahun 1907. Diperkirakan, dia lulusan sekolah menengah elit Hogere Burger School (HBS). Hanya anak-anak Belanda dan anak penggede pribumi seperti ayah Setiadjit yang bisa sekolah di sana. Foray juga menyebut Setiadjit kuliah teknik di Delft. 

Menjadi Aktivis di Negeri Kincir Angin

Di Belanda, Setiadjit muda segera membangun reputasi sebagai mahasiswa yang mudah bergaul. “Setiadjit adalah mahasiswa yang malas dan kesenangannya pergi ke klub malam (sampai 1935),” tulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948 (1997). Kalau pemuda yang doyan dugem ini sedang bokek, maka malaikat penolongnya adalah kawan-kawan sesama komunis macam Abdulmadjid. 

“Pengkomunisan Setiadjit berjalan lama dan perlahan-lahan,” tulis Hok Gie. Abdulmadjid lah yang pelan-pelan memengaruhinya. Seperti Setiadjit, Abdulmadjid juga anak bupati, dan juga anak tiri dari R.A. Kartini. 

Setiadjit pernah dikirim ke Berlin untuk bergiat di Liga Anti Imperialis. Dia cukup berpengaruh di kalangan mahasiswa dan buruh-buruh kapal Indonesia. Anak bupati ini juga pernah jadi Ketua PI sejak 1933. Namun, karena sakit pada 1935, dia harus ke Swiss dan baru kembali tahun 1937. Mulai 1938, dia aktif lagi di PI. Setiadjit juga berafiliasi dengan Communist Partij Nederland (CPN). 

Pada Agustus 1939, Setiadjit menjadi salah satu delegasi dalam Congress of World Student Assembly di Paris. Di situ, dia berkenalan dengan Eric Hobsbawm muda. Kelak, Eric kondang di seluruh dunia sebagai sejarawan Marxis Inggris terbesar abad ke-20.

Dalam otobiografinya, Interesting Times: A Twentieth-Century Life (2002), Eric mengenang bagaimana sosok Setiadjit sembari memandangi foto kenang-kenangan kongres Paris itu. "Di situ, di antara kelimun wajah-wajah muda yang terlupakan, tampak seorang Jawa nan tampan bernama Satjadjit Soegono, yang kelak menjadi pemimpin serikat buruh terkemuka di Indonesia setelah perang sampai ia terbunuh dalam pemberontakan komunis Madiun 1948" (hlm. 125).     

Ketika Jerman menduduki Belanda pada 10 Mei 1940, Setiadjit masih di situ. Ratu Wilhelmina dan jajaran pemerintahannya, sementara itu, kabur ke Inggris. Setiadjit termasuk pemimpin orang-orang Indonesia dalam kelompok perlawanan anti-Jerman, Vrije Nederland (Pembebasan Belanda), dalam front Eropa Perang Dunia II. 

Dia sering bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain agar terhindar dari deteksi tentara Jerman. Setiadjit, menurut majalah Indonesia (24/11/1945), “menjadi tokoh yang banyak dicari oleh Sicherheits Dienst (Dinas Keamanan Jerman).” 

Suatu kali pada 1940, Setiadjit pernah bilang: “Ini bukan perang demi demokrasi, demi melindungi bangsa-bangsa kecil dan lemah, demi kemerdekaan, dan juga bukan perang semata-mata, melainkan perang kaum imperialis untuk membagi ulang dunia.” 

Keterlibatannya melawan Jerman dia lakukan bukan untuk Ratu Wilhelmina dan kerajaan-kerajaan Belanda. Dia hanya solider pada kawan-kawan dan rakyat Belanda—yang tidak ada sangkut pautnya dengan kolonialisme ratusan tahun negeri itu di Indonesia. 

Dalam tulisannya yang berjudul "De Toestand" (keadaan), yang dirilis majalah stensilan PI, Setiadjit menyebut: “Dengan larinya pemerintah itu sekarang, maka ia telah menyatakan dirinya di luar hukum […] dengan demikian pemerintah Belanda secara formal dan moral telah kehilangan hak untuk memerintah kita.” 

Kerajaan Belanda dianggap telah berakhir statusnya sebagai penguasa Hindia Belanda. Inti menarik bagi orang-orang Indonesia dari tulisan itu adalah: “Dengan terjadinya perubahan yang radikal atas keadaan ini, maka berubah juga status Indonesia.” 

Selesai perang, Setiadjit bersama Nazir Pamoentjak diangkat menjadi anggota Staten General (parlemen Belanda) sebagai wakil dari PI. Bedanya, Nazir di Majelis Tinggi (Eerste Kamer) dan Setiadjit di Majelis Rendah (Tweede Kamer). 

Di Belanda, Setiadjit kawin dengan Elly Soumokil, perempuan berdarah Ambon yang juga sekolah di situ. Mereka akhirnya pulang ke Indonesia pada 25 April 1946. 

Pulang Kampung, Memberontak, dan Dieksekusi

Sampai di Indonesia, Setiadjit sempat aktif di Partai Buruh Indonesia (PBI). Orang-orang dari partai ini banyak juga yang masuk Partai Komunis Indonesia (PKI). Setiadjit pun ikut masuk pemerintahan. Dia adalah Menteri Muda Perhubungan dalam Kabinet Sjahrir III. Setelahnya, selama Amir Sjarifuddin jadi Perdana Menteri, Setiadjit adalah Wakil Perdana Menteri. Baik dalam Kabinet Amir I maupun II. 

Sebagai orang yang pernah jadi anggota parlemen di Belanda, muncul omongan-omongan miring tentang Setiadjit. Seperti ditulis dengan sinis di brosur Murba (3-4/04/1948), yang dikutip juga oleh Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 3: Maret 1947-Agustus 1948(2010), “Setiadjit dikirim ke Indonesia sebagai pelopor dari Komisi Jenderal, sebagai duta dari politik imperialis. Herankah kita kalau hidupnya Setiadjit, sesudah perang ini mendadak menjadi mewah-mewah? Herankah kita kalau istrinya satu-satunya orang Indonesia yang diperbolehkan menumpang kapal pesiar […] lux (mewah) dari Nederland ke Indonesia ini?” 

Brosur Murba itu dirilis kelompok komunis jaringan Tan Malaka yang bersilang jalan dengan PKI pimpinan Moesso dan Amir, di mana Setiadjid tergabung di dalamnya. Setelah kabinet Amir jatuh, dan Amir terlibat petualangan di Madiun dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 1948, Setiadjit pun kena sikat. Tak hanya ikut ditangkap, tapi juga dihukum mati bersama Amir di akhir 1948.

Tabariji, Sultan Ternate yang Terpaksa Pindah Agama

Tabariji, Sultan Ternate yang Terpaksa Pindah Agama
Ilustrasi Kesultanan Ternate; 1735. FOTO/Wikicommon


Rakyat Ternate menolak kembalinya Sultan Tabariji karena dianggap telah murtad. 

Sultan Tabariji dibawa Portugis dari Ternate ke India untuk diadili, dan kemudian berpindah agama dari Muslim menjadi pemeluk Kristen. 

Kegemparan melanda Maluku bagian utara pada awal 1534. Kabar mengejutkan terdengar dari jauh: Sultan Tabariji, penguasa Kesultanan Ternate yang dinobatkan setahun sebelumnya, telah melepaskan Islam dan beralih menganut Kristen. 

Rakyat Ternate sontak merapatkan barisan. Mereka bersiap menolak kedatangan Sultan Tabariji yang sedang dalam perjalanan pulang dari tanah pembuangan di India. Apapun yang bakal terjadi, Ternate tidak boleh diperintah raja yang telah berpindah agama. 

Sementara itu, kapal yang membawa Sultan Tabariji telah berlabuh di Malaka dan bersiap melanjutkan pelayaran menuju Ternate. 

Kuatnya Islam di Ternate 

Menurut sumber-sumber lokal, seperti disebutkan Arkeologi Islam Nusantara karya Uka Tjandrasasmita (2009), Kepulauan Maluku telah dikunjungi orang-orang Islam, yakni kaum pedagang dari Arab sejak abad ke-14 (hlm. 60). Ketika itu, Ternate dipimpin raja ke-12, Molomateya (1350-1357).  

Penguasa Ternate pertama yang diyakini memeluk Islam adalah Zainal Abidin (1486-1500). Sejak periode inilah gelar sultan mulai digunakan untuk menggantikan sebutan kolano, gelar pemimpin yang sebelumnya dipakai secara turun-temurun. 

Pada era Sultan Zainal Abidin, syariat Islam juga mulai dilaksanakan. Bahkan sistem pemerintahan Islam Ternate ini menjadi standar yang diikuti hampir seluruh kerajaan di Kepulauan Maluku. Menurut Djokosurjo dalam Agama dan Perubahan Sosial (2001), Sultan Zainal Abidin konon pernah berguru kepada Sunan Giri di Gresik (hlm. 106).

Kendati begitu, Islam diduga masuk ke Ternate jauh sebelum masa Raja Molomateya. Indikasinya adalah nama-nama bernuansa Timur Tengah sudah dipakai beberapa penguasa Ternate terdahulu. Beberapa di antaranya raja ke-2 dan ke-3, yakni Jamin Qadrat (1277-1284) dan Komala Abu Said (1284-1298), juga Syah Alam (1332-1343) serta Abu Hayat I (1347-1350).

Yang jelas Islam dan Ternate sudah berinteraksi sedari abad ke-13, jauh sebelum Portugis datang pada 1512. Bahkan, Ternate menjadi pusat penyebaran Islam ke hampir seluruh Kepulauan Maluku dan pulau-pulau lain di sekitarnya, hingga ke Filipina bagian selatan.

Drama Portugis dan Tabariji

Tabariji naik ke puncak singgasana Kesultanan Ternate pada 1533 berkat campur tangan Portugis. Itu terjadi setelah pemimpin sebelumnya, Sultan Abu Hayat II (berkuasa sejak 1529), dilengserkan. Saudara tiri Tabariji diturunkan paksa karena sering terlibat polemik dengan Portugis. 

Tidak mudah bagi Portugis untuk menggulingkan Sultan Abu Hayat II. Dukungan besar dari rakyat Ternate menjadi penghalang terbesar. Hingga pada 1531, sang sultan dituding sebagai otak pembunuhan pejabat tinggi Portugis. Ia kemudian ditangkap, dimakzulkan, diadili, dan diasingkan ke Malaka.

Dalam Sejarah Sosial Kesultanan Ternate (2010) disebutkan, Portugis lantas memakai pengaruhnya untuk mendesak dewan kerajaan agar mengangkat Tabariji sebagai pemimpin baru (hlm. 9). Saat itu, Tabariji masih berstatus pangeran. 

Bagi Portugis, Pangeran Tabariji lebih mudah dikendalikan setelah diangkat menjadi sultan. Portugis juga meyakini Tabariji akan berterima kasih karena telah dibantu mengambilalih takhta Ternate dari trah Abu Hayat II yang merupakan saudara tirinya. Mereka berdua adalah putra Sultan Bayanullah (1500-1522) dari lain ibu.

Portugis ternyata salah perkiraan. Sultan Tabariji awalnya memang kooperatif, namun lama-kelamaan mulai memperlihatkan penentangan, bahkan menunjukkan kebencian terhadap Portugis. Inilah yang membuat Portugis berpikir lagi bagaimana caranya menindak tegas sultan yang telah mereka naikkan itu.

Seperti saat menjungkalkan Sultan Abu Hayat II, Portugis menerapkan taktik serupa terhadap Sultan Tabariji. Diungkapkan R. Soekmono dalam Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia (1981), Sultan Tabariji dibawa ke India untuk diadili atas tuduhan persekongkolan jahat (hlm. 50). Tuduhan tersebut palsu belaka. 

Dipaksa Pindah Agama atau Sukarela?

Sejumlah referensi mencatat bahwa di India, Sultan Tabariji dipaksa Portugis agar meninggalkan Islam dan masuk Kristen jika ingin berkuasa kembali di Ternate. Selain itu, Tabariji diminta pula untuk menyerahkan Ambon, Buru, dan Seram, serta mengakui Ternate sebagai vasal dari Kerajaan Portugis (Sejarah Sosial Kesultanan Ternate, 2010: 9).

Namun, ada beberapa sumber lain yang menuliskan kisah berbeda tentang perpindahan agama Sultan Tabariji. Paramita Rahayu Abdurachman (2008) dalam Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-jejak Kebudayaan Portugis di Indonesia, misalnya, menyebut bahwa Tabariji masuk Kristen bukan karena paksaan.

Disebutkan pada halaman 44, dengan mengutip tulisan P. Tiele (1877-1887) dalam De Europeers in den Maleischen Archipel, Volume I-IX, Sultan Tabariji bertemu seorang bangsawan Portugis bernama Jordao de Freytas yang sering datang ke Maluku. Pertemuan itu terjadi di India, tepatnya di Goa, lokasi di mana Sultan Tabariji akan diadili.

De Freytas menyarankan kepada Tabariji memeluk Kristen untuk membuktikan bahwa ia tidak terlibat dalam persekongkolan yang dituduhkan kepadanya. Nasihat itu dituruti. Tabariji akhirnya memeluk Kristen dan memakai nama Manuel. Ibunda Tabariji juga dikristenkan, dibaptis dengan nama Isabella.

Kerelaan Tabariji dan ibunya memeluk Kristen disebut-sebut memantik simpati Raja Portugis. Menurut R.Z. Leirissa dalam Sejarah Kebudayaan Maluku (1999), atas perintah Raja Portugis, Tabariji dipulangkan ke Ternate untuk dipulihkan posisinya sebagai sultan (hlm. 29).

Apakah Tabariji masuk Kristen dengan terpaksa atau sukarela memang masih menjadi perdebatan. Tapi yang pasti, Tabariji sudah berpindah agama dan bersiap pulang ke Ternate dari India melalui Malaka.

Di Ternate sendiri, singgasana Kesultanan Ternate telah diduduki oleh Sultan Khairun Jamil. Orang ini tidak lain adalah saudara kandung Sultan Abu Hayat II yang dijungkalkan Portugis sebelum menaikkan Tabariji.

Sultan Khairun Jamil menggalang kekuatan rakyat untuk menolak pulangnya Tabariji yang telah berpindah agama. Namun, Tabariji tak pernah kembali. Ia meninggal dunia dalam pelayaran setelah transit di Malaka pada 1534 itu.