Leendert J.D. Reeser adalah
guru sejarah dan ilmu bumi di Hogere Burgerschool (HBS) Surabaya. Tubuhnya
gempal, pipinya tembam, kepalanya bulat kokoh seperti tokoh sosialis Perancis
Jaures. Kulitnya kemerahan. “Semerah dirinya,” tulis Annie-Romein Verschoor,
penulis Belanda yang pernah menjadi siswa HBS Surabaya pada awal abad 20
(Verschoor, 1971).
Kenangan Annie memberikan
gambaran mengesankan tentang Reeser. Si Merah ini memulai pelajaran dengan
duduk di bangku pengajar, meletakkan kacamata dan menyalakan cangklong. Dengan
cangklong yang melekat di bibir, Reeser mengisahkan berbagai peristiwa sejarah di
Eropa dan Hindia. Lalu melontarkan pertanyaan tentang hak-hak penduduk pribumi,
kedudukan perempuan, dan posisi sebagai orang Eropa terkait kolonialisme.
Annie, siswa perempuan yang duduk di barisan depan, menuturkan betapa
tersiksanya mendapat pertanyaan Reeser yang menghunjam.
Satu pesona menarik Reeser
yang terus diingat Annie: kebiasaannya berdiri di atas bangku depan kelas,
berorasi meniru gaya senator Romawi di podium tribunal. Gaya seperti ini pula
yang mengilhami Sukarno berlatih pidato dengan berdiri di atas meja dalam kamar
kos di kediaman Tjokroaminoto.
Di luar pekerjaannya sebagai
guru, sosok Reeser yang eksentrik seringkali menjadi gunjingan siswa. Ia
sendiri tak pernah menutupi pandangan nyinyir tentang keluarga kerajaan Belanda
dan menjadi gunjingan di komunitas kecil masyarakat Eropa di Kota Surabaya.
Setiap akhir pekan, ia kerap membawa isterinya menghabiskan waktu di klub
pelaut Marinegebouw di Oedjoeng (pelabuhan Tanjung Perak). Isterinya pun
terkadang turut berdansa dengan para pelaut yang menambah bumbu pergunjingan
tentang sosok Reeser.
Reeser memberi gambaran
menarik sosok sosialis Belanda di Hindia dan kiprah politiknya pada peralihan
abad. Dalam arus besar historiografi pergerakan awal abad 20, kisah Reeser
memang terlewatkan untuk jangka waktu panjang. Esai ini ingin menggarisbawahi
kekurangan yang ada dalam penulisan sejarah Indonesia dengan mengangkat sosok
Reeser dan kiprahnya yang menandai awal perkembangan sosialisme modern di
Hindia-Belanda pada awal abad 20.
Kedatangan
Orang-Orang Sosialis Awal
Sebagai seorang muda yang
penuh semangat, Reeser terlibat dalam pergerakan sosialis dan menjadi anggota
aktif Social Democratische Arbeiders Partij (SDAP) atau Partai Buruh Sosial
Demokrat di Belanda. Ia menceritakannya sendiri lewat sebuah artikel yang
ditulis pada 1899, dua tahun sebelum keberangkatannya ke koloni. Ia menulis artikel
bersambung tentang perkembangan sejarah kontemporer dunia memasuki akhir abad
19.
Dalam tulisannya, ia
menekankan semangat zaman pada fin de sicle (akhir abad) tentang
“kemenangan altruisme melawan egoisme” melalui kebangkitan gerakan buruh yang
terjadi di benua Eropa. Ia mengutip pernyataan menarik dari Ulrich von Hütten,
seorang humanis dan tokoh reformasi Jerman abad ke-16, bahwa “betapa menyenangkannya
hidup, karena semangat zaman telah bangkit” (“Overzicht der Wereldgeschiedenis
in het jaar 1898”. Vragen van den dag, Jilid I, 1899). Altruisme dan
kebangkitan semangat zaman baru itu terus melekat dalam diri Reeser ketika
mulai bekerja di Hindia pada peralihan abad tersebut.
Reeser mulai mengajar di HBS
pada 1902. Setahun kemudian, ia diangkat sebagai guru tetap sekolah itu.
Situasi di koloni ketika ia mulai mengajar memang berbeda dengan semangat
kebangkitan zaman baru di benua Eropa. Sesuai konstitusi pemerintah kolonial
(Regerings Reglement 1854), koloni adalah wilayah terlarang untuk setiap jenis
aktivitas politik, termasuk kegiatan politik yang dilakukan warga Eropa.
Aturan tersebut baru
direvisi pada 1916 seiring reformasi politik Gubernur Jenderal Idenburg yang
menginginkan perubahan bertahap di koloni. Namun, sebelum perubahan itu
terjadi, situasi di koloni saat kedatangan Reeser jauh dari gegap gempita zaman
baru di Eropa. Semangat altruisme zaman baru tersebut harus menghadapi
kenyataan egoisme kehidupan sehari-hari orang Eropa di koloni: sekadar mencari
peruntungan hidup dan segera pulang kembali ke kampung halaman dengan tabungan
yang gemuk “sebelum menjadi tua di Hindia”.
Namun, Reeser bukan
penonton pasif dalam gerak sejarah. Dengan segala keterbatasan di koloni, pada
Juli 1903, ia menulis surat pembaca di harian Het Volk, organ SDAP, yang
menyerukan kegiatan penggalangan dana di antara kaum sosialis yang tinggal di
koloni sebagai sumbangan bagi persiapan partai mereka menghadapi pemilu 1905 di
Belanda. Surat pembaca itu terbit pada 19 Juli 1903 di kolom kecil Het Volk
yang menyampaikan pandangan aktivis yang tidak sudi tinggal diam.
“Bersama seorang teman di
Jawa Barat, saya telah mempersiapkan pembentukan perkumpulan penyumbang (Kontributie
Vereeniging),” tulis Reeser. “Anggota perkumpulan ini nantinya akan memberi
sumbangan wajib sebesar f 1 setiap bulan. Nama penyumbang akan tetap
dirahasiakan dan sumbangan dikirim atas nama saya melalui kwitansi lewat pos”
(“Een Indisch Verkiezingfonds”, Het Volk, 19 Juli 1903).
Meski perkumpulan itu
terbatas pada kalangan warga Belanda di Hindia, Kontributie Vereeniging
sesungguhnya telah menjadi perkumpulan awal kaum sosialis. Namun sifat rahasia
perkumpulan itu menyebabkan kiprahnya segera dilupakan.
Jejak sejarah Kontributie
Vereeniging baru menjadi perhatian ketika Ir. Charles G. Cramer, tokoh pendiri
Indische Social-Democratische Partij (ISDP) yang kemudian menjadi anggota
Volksraad, mengungkapkan keterlibatannya dalam kegiatan pengumpulan dana yang
dilakukan KV dalam wawancara yang terbit di Het Vrije Volk pada 20
Oktober 1959. Bertepatan dengan momen perayaan usianya yang ke-80. Menurut
Cramer, ia telah menjadi bagian perkumpulan penyumbang itu dengan nomor
keanggotaan 48.
Jumlah penyumbang menurutnya
mencapai 68 orang. Tidak ada nama dan alamat penyumbang yang disebutkan, selain
nomor urut anggota dan besarnya sumbangan yang diberikan. Sampai tahun 1910,
Cramer menyatakan bahwa KV telah berhasil mengumpulkan sejumlah f 2.672,02 yang
langsung dikirim ke pengurus SDAP di negeri Belanda (“Ch. G. Cramer Tachtig
Jaar”. Het Vrije Volk, 20 Oktober 1959).
Seperti Reeser, Cramer
adalah tokoh sosialis Belanda di Hindia awal abad ke-20. Ia lahir di Sidoarjo,
Jawa Timur, dari keluarga Eropa yang telah lama bermukim di Hindia. Setelah
menyelesaikan pendidikan menengah, Cramer melanjutkan pendidikannya di
Universitas Delft yang menjadi pusat perkembangan pemikiran Marxisme di
kalangan mahasiswa — situasi yang membuat kampus itu dianggap “kampus merah”. Kampus
ini juga melahirkan banyak pimpinan sosialis seperti Ir. H. Van Kol, pendiri
SDAP. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Cramer kembali ke Hindia-Belanda dan
bekerja sebagai tenaga ahli pada Dinas Pengairan dan Pekerjaan Umum
(Waterdienst en Burgerlijke Openbare Werken) di tempat kelahirannya.
Kesaksian Cramer mengundang
Reeser menulis tanggapan dalam surat pembaca di surat kabar yang sama dan
menulis ihwal Kontributie Vereeniging. Reeser juga menjelaskan mengapa dana
yang terkumpul baru dapat dikirimkan pada 1910, terlambat 5 tahun dari rencana.
Menurut Reeser, perkumpulan tersebut kesulitan melakukan pengiriman dana ke
SDAP karena ketakutan De Javasche Bank atas sifat politik di balik pengiriman
dana tersebut. Dalam era ketika koloni merupakan wilayah yang tertutup secara
politik, bank tersebut tidak mau mengambil risiko bertentangan dengan
pemerintah. Perkumpulan tersebut terpaksa menunda pengiriman dana dan
memindahkan uang perkumpulan ke bank lain yang memungkinkan dilakukannya
pengiriman.
Kaum
Sosialis sebagai Middenstand
Diktum tentang basis yang
menentukan superstruktur mendapatkan tempatnya dalam kisah dan kiprah Reeser
yang mengilustrasikan fase paling awal perkembangan sosialisme modern di
Hindia-Belanda.
Karl Marx baru merampungkan
tesis utama dalam Das Kapital tentang eksploitasi nilai lebih pada
kapitalisme modern setelah meninggalkan Jerman dan menetap di Inggris, pusat
kemajuan kapitalisme modern. Begitu juga dengan perkembangan gagasan sosialisme
modern di koloni Hindia-Belanda. Ia tidak berkembang di Batavia yang menjadi
pusat administrasi kolonial, tetapi di Surabaya yang merupakan pusat industri
dan perdagangan di Hindia-Belanda awal abad 20.
Uraian tentang sejauh mana
Surabaya tumbuh sebagai pusat industri penting di koloni dapat dilihat dalam
ulasan tokoh sosialis Belanda lain, Van Kol, yang mengunjungi kota tersebut
pada 1903. Van Kol menyebut sumber kekayaan yang muncul di Surabaya berasal
dari produksi tanaman tebu di sekitar Pasuruan dan Besuki yang mencapai
22.445 bouw atau 22 persen dari seluruh lahan tebu yang ada di Jawa.
Perhitungan ini belum memasukkan lahan-lahan di pusat penanaman tebu di
Jombang, Kediri, dan Malang sebagai kawasan hinterland yang menjadi
tulang punggung perkembangan ekonomi di Surabaya.
Ia melihat Surabaya sebagai
pusat industri yang tak terbantahkan melalui keberadaan pabrik mesin uap,
galangan kapal, gudang-gudang kopi, gula dan minyak, pabrik semen dan
penggilingan kopi; selain kompleks industri berat, pabrik baja dan kimia di
wilayah pelabuhan yang membentuk lingkungan kota, serta produksi persenjataan
modern di koloni (“Uit Onze Kolonie”. Soerabajasch Handelsblad. Van Kol,
1903).
Van Kol juga menyempatkan
diri menyusuri sudut-sudut lain kota sepanjang kompleks pabrik dan persimpangan
jalan menuju gang-gang perkampungan pribumi pada malam hari. Ia menulis
bagaimana di balik kemajuan kota terdapat sisi kelam kemiskinan yang tampak
dari rumah-rumah bordil dari bambu sederhana tempat para pelacur Jepang,
Indo-Eropa, Tionghoa dan Pribumi bekerja pada malam hari. Van Kol menuturkan,
secara berkala dokter rumah sakit di kota itu memeriksa kesehatan sekitar 50
sampai 60 pekerja seks komersial di lingkungan yang menjadi pusat penyebaran
sifilis dan penyakit kelamin lainnya.
Rumah sakit umum
(Stadsverband) yang menjadi fasilitas kesehatan publik juga, dalam tinjauan Van
Kol, bukan layaknya rumah sakit. Ia lebih menyerupai penjara dengan jeruji
hitam dan gembok besar yang menyebabkan penduduk pribumi lebih memilih berobat
secara tradisional dari dukun-dukun kampung.
Tempat lain yang juga
dikunjungi Van Kol adalah tangsi-tangsi tentara yang menampung veteran perang
dari para serdadu Ambon dan orang-orang Eropa miskin dengan praktik pergundikan
yang umum sepanjang akhir abad 19. Buah dari pergundikan ini adalah lahirnya
orang-orang Indo-Eropa. Dalam konsepsi umum orang Eropa pendatang, kaum Indo
mengalami kemerosotan moral di bawah pemeliharaan ibunya, yang menjadi gundik
orang-orang Eropa saat bertugas di koloni. Mereka lekat dengan kemiskinan yang
jauh dari standar hidup layak orang-orang Eropa.
Dalam suasana seperti itulah
kaum sosialis Belanda membangun lingkaran pergaulan yang terbatas di koloni.
Kesamaan latar belakang pekerjaan membuat mereka menjadi begitu menarik.
Orang-orang itu kebanyakan bekerja sebagai insinyur dan guru yang menempati
posisi lapis menengah dan bawah struktur sosial di kota-kota kolonial. Mereka
juga mendukung SDAP dan turut aktif menggulirkan pembentukan perkumpulan sosial
demokrat di Hindia.
Selain Reeser, kaum sosialis
di Surabaya meliputi nama-nama seperti Van Ravensteyn (kepala sekolah HBS
Surabaya), Van Burink, C. Hartogh, dan Bernard Cooster yang kediamannya menjadi
tempat tinggal Sneevliet. Mereka bagian dari pengelompokkan sosial baru di
kota-kota kolonial Hindia-Belanda yang mewakili kalangan middenstand atau
pekerja lapis menengah bawah di dalam struktur birokrasi kolonial. Umumnya
mereka berprofesi sebagai guru dan tenaga penyelia di departemen teknis
pemerintah seperti Cramer dan Reeser.
Kaum
Sosialis Membawa Gagasan Modern
Meski ruang gerak kaum
sosialis dibatasi undang-undang, mereka tetap terlibat dalam serangkaian agenda
politik. Tidak lama setelah pemerintah kolonial menggulirkan reformasi politik
menjelang pembentukan dewan kota sebagai lembaga kunci dalam kehidupan politik
warga, pada Januari 1906, di Surabaya dibentuk Komite Pemilihan
(Verkiezingscomitte). Komite ini mempersiapkan warga kota dalam pemilihan
wakil-wakil mereka di dalam dewan. Van Ravensteyn dan Reeser duduk sebagai
ketua dan sekretaris komite. Pengaruh pandangan politik keduanya segera
terlihat.
Pertama, komite memutuskan
mengundang kehadiran perempuan dalam proses pemilihan meski ketetapan
pemerintah tidak memberi perempuan hak untuk memilih dan dipilih. Mereka
membuat proses pemilihan di Surabaya sangat berbeda di Batavia, Bandung, dan
Semarang. Pemilihan di Surabaya menjadi satu-satunya proses yang membuka pintu
bagi kaum perempuan dan mengizinkan mereka di dalam rapat umum warga kota.
Kedua, komite memutuskan
mengirim undangan kepada 25 warga pribumi, Tionghoa, dan Timur Asing lain untuk
hadir dalam proses pemilihan. Komite memberikan kesempatan kepada mereka untuk
turut serta menyampaikan pandangan dan harapan di hadapan para kandidat dari
warga Eropa (“De Kiesvergadering te Soerabaja: Mededeelingen van het
Verkiezingscomite”. Soerabajasch Handelsblad. 22 Januari 1906).
Setelah Dewan Kota
terbentuk, kiprah Reeser dan perhatiannya terhadap persoalan publik di Surabaya
terus berlanjut. Pada 1909, dalam rapat pembentukan Surabaya Kiesvereeniging
yang mempersiapkan kandidat bagi dewan kota, Reeser menyerukan agar dalam
anggaran dasar perkumpulan tersebut memasukkan orang-orang pribumi dan kaum
perempuan. Ia memperlihatkan penentangan arus besar sentimen rasialisme dan
ideologi patriarki yang membentuk sikap kebanyakan warga Eropa di koloni.
Menelusuri kiprah Reeser
memperlihatkan persoalan politik di Hindia jauh lebih luas dari sekedar tema
yang tertera dalam penulisan sejarah Indonesia. Ras, kelas, gagasan
nasionalisme, termasuk prinsip politik kewargaan, menjadi bagian penting dalam
perkembangan kehidupan kota-kota kolonial awal abad ke-20.
Satu dekade kemudian,
setelah pemerintah kolonial mencabut larangan kegiatan politik di koloni,
lahirlah organisasi kaum sosial demokrat yang pertama di Hindia-Belanda dengan
nama Indische Social-Demokratische Vereeniging (ISDV) atau Perkumpulan Sosial-Demokrat
Hindia pada 9 Mei 1914. Dalam rapat yang melibatkan sekitar tiga puluh aktivis
sosial demokrat di Marinegebouw, Reeser terpilih menjadi ketua ISDV yang
pertama. Kantor pusatnya ditetapkan di Surabaya. Sementara Sneevliet, yang baru
datang ke Hindia pada 1912, menjadi pemimpin redaksi Het Vrije Woord,
organ perkumpulan tersebut yang bertempat di Semarang.
Sejak terbentuknya ISDV,
pergerakan kaum sosialis Belanda mulai mendapatkan lahan untuk digarap. Hal itu
menandai gerak zaman baru di koloni dalam apa yang disebut Shiraishi (1990)
sebagai “penerjemahan kosa kata dunia modern” seperti sosial demokrasi, mogok,
dan disiplin partai. Namun perkembangan ISDV juga menandai perpecahan kalangan
sosialis Belanda di Hindia. Pecahnya Revolusi Rusia pada Oktober 1917 semakin
meneguhkan keyakinan faksi radikal di ISDV bahwa revolusi kaum sosialis dapat
dilakukan di negeri dengan tahap perkembangan kapitalisme yang masih
terbelakang, seperti Rusia saat itu.
Sneevliet dan lingkaran
politiknya di Semarang menginginkan partai yang lebih mandiri dari ikatan
dengan negeri induk, dan langsung menjadi bagian dari gerakan komunisme
internasional (Komintern). Posisi ini mendapat tantangan dari aktivis sosialis
lain yang ingin mempertahankan afilisasi politik dengan SDAP di Belanda.
Crammer yang bertahan pada
posisi terakhir pada akhirnya memisahkan diri dari ISDV dan bersama aktivis
sosialis lainnya membentuk Indische Social-Democratische Partij (ISDP).
Organisasi ini menjadi corong suara moderat kalangan sosial-demokrat di Hindia.
Dalam pertarungan politik
tersebut, Reeser memutuskan kembali ke Belanda. Setelah itu, ia kembali lagi ke
Hindia untuk bekerja dalam jabatan baru sebagai kepala sekolah HBS di Semarang.
Ia memutuskan tidak lagi terlibat dalam kegiatan politik karena posisi barunya
itu dan juga karena perkembangan-perkembangan baru yang terjadi di dalam
pergerakan kaum sosialis di Hindia.
Perspektif
Baru Sejarah Pergerakan Nasional
Cerita tentang sosok dan
kiprah Reeser sepanjang satu dekade awal abad 20 telah menjadi petunjuk penting
perkembangan sosialisme modern di Hindia-Belanda. Reeser menjadi petunjuk bahwa
studi sejarah pergerakan nasional Indonesia awal abad 20 masih terlalu terbatas
dan membutuhkan revisi lebih lanjut.
Para penulis sejarah
Indonesia masa kini memang memiliki sebuah hambatan besar dalam melihat
hubungan dan saling singgung dengan orang-orang, budaya, dan peradaban berbeda,
terutama yang terkait latar belakang Eropa. Orang-orang Eropa, Belanda, dan
peradaban Barat yang mereka bawa (sekali lagi akibat pengaruh inferioritas
kompleks yang akut), telah dinihilkan dalam penulisan sejarah Indonesia sejak
1957 ketika ide historiografi Indonesia sentris mulai digagas. Akibatnya,
penulisan sejarah Indonesia menjadi semakin terisolir dari perkembangan dunia
yang lebih luas.
Pengaruhnya cukup nyata
bukan saja dalam dunia tindakan tetapi juga pemikiran. Saat pertama kali bertemu
Tjokroaminoto, Sneevliet sempat menyinggung bahwa ia sempat melihat
Tjokroaminoto sibuk membaca De Socialisten: Personen en Stelsel dalam
upaya membangun landasan teoritis dan program organisasinya (Perthus, 1976).
Buku yang sedang dibaca Tjokroaminoto adalah karya besar Hendrik Peter Godfried
Quack, seorang sejarawan, ahli hukum, dan tokoh pergerakan sosialis Belanda.
Di sini terdapat gambaran
cukup jelas bahwa pergerakan orang-orang Indonesia bukan pergerakan yang
berjalan sendiri. Ia senantiasa bersinggungan dengan perkembangan-perkembangan
lain di Hindia dan dunia. Tjokroaminoto yang selalu digambarkan sebagai pemikir
Islam, membangun horison pemikirannya lebih dari sekadar apa yang terjadi di
Hindia semata. Ia harus beradaptasi dengan dunia pergerakan yang membawa serta
ide perjuangan kelas di koloni. Ide tersebut tentu saja bersinggungan dengan
persoalan ketimpangan rasial, modernitas kota kolonial, keterbelakangan cara
produksi kapitalisme, serta saling kaitan gagasan modern barat dan nasionalisme
Indonesia.
Keseluruhan tema ini
memerlukan eksplorasi lebih dalam dibanding sekadar tema “keunikan sejarah
Indonesia” di bawah bayang-bayang kajian wilayah (area studies), sebuah kajian
yang dibakukan akademisi Barat. Dari rahim area studies itulah lahir serangkaian
kajian awal tentang periode pergerakan nasional Indonesia. Dua contoh yang
menonjol adalah karya Ruth T. McVey (1965) tentang kemunculan gerakan komunis
di Indonesia dan Takashi Shiraishi (1990) tentang radikalisme kerakyatan di
Jawa.
Dua magnum opus tersebut tidak dapat disangkal telah memberikan sumbangan besar dalam kajian sejarah Indonesia. Persoalannya adalah apakah para peneliti sejarah Indonesia cukup merasa puas untuk terus mereproduksi pemikiran lama dalam karya-karya yang sudah menjadi tua itu?
Dua magnum opus tersebut tidak dapat disangkal telah memberikan sumbangan besar dalam kajian sejarah Indonesia. Persoalannya adalah apakah para peneliti sejarah Indonesia cukup merasa puas untuk terus mereproduksi pemikiran lama dalam karya-karya yang sudah menjadi tua itu?
Dengan mengingat adagium
bahwa setiap generasi menulis sejarahnya sendiri, revisi dan pengayaan tema
sejarah pergerakan nasional Indonesia tampaknya menjadi agenda penting bagi
sejarawan Indonesia masa kini.