Rabu, 13 Desember 2017

Inilah Kisah Orang-Orang Sosialis Paling Awal Di Hindia Belanda Yang Berkiprah Di Tengah Berbagai Pembatasan Politik

Sebelum PKI Berdiri: Lingkaran Kaum Sosialis di Surabaya

Leendert J.D. Reeser adalah guru sejarah dan ilmu bumi di Hogere Burgerschool (HBS) Surabaya. Tubuhnya gempal, pipinya tembam, kepalanya bulat kokoh seperti tokoh sosialis Perancis Jaures. Kulitnya kemerahan. “Semerah dirinya,” tulis Annie-Romein Verschoor, penulis Belanda yang pernah menjadi siswa HBS Surabaya pada awal abad 20 (Verschoor, 1971).

Kenangan Annie memberikan gambaran mengesankan tentang Reeser. Si Merah ini memulai pelajaran dengan duduk di bangku pengajar, meletakkan kacamata dan menyalakan cangklong. Dengan cangklong yang melekat di bibir, Reeser mengisahkan berbagai peristiwa sejarah di Eropa dan Hindia. Lalu melontarkan pertanyaan tentang hak-hak penduduk pribumi, kedudukan perempuan, dan posisi sebagai orang Eropa terkait kolonialisme. Annie, siswa perempuan yang duduk di barisan depan, menuturkan betapa tersiksanya mendapat pertanyaan Reeser yang menghunjam.

Satu pesona menarik Reeser yang terus diingat Annie: kebiasaannya berdiri di atas bangku depan kelas, berorasi meniru gaya senator Romawi di podium tribunal. Gaya seperti ini pula yang mengilhami Sukarno berlatih pidato dengan berdiri di atas meja dalam kamar kos di kediaman Tjokroaminoto. 

Di luar pekerjaannya sebagai guru, sosok Reeser yang eksentrik seringkali menjadi gunjingan siswa. Ia sendiri tak pernah menutupi pandangan nyinyir tentang keluarga kerajaan Belanda dan menjadi gunjingan di komunitas kecil masyarakat Eropa di Kota Surabaya. Setiap akhir pekan, ia kerap membawa isterinya menghabiskan waktu di klub pelaut Marinegebouw di Oedjoeng (pelabuhan Tanjung Perak). Isterinya pun terkadang turut berdansa dengan para pelaut yang menambah bumbu pergunjingan tentang sosok Reeser.

Reeser memberi gambaran menarik sosok sosialis Belanda di Hindia dan kiprah politiknya pada peralihan abad. Dalam arus besar historiografi pergerakan awal abad 20, kisah Reeser memang terlewatkan untuk jangka waktu panjang. Esai ini ingin menggarisbawahi kekurangan yang ada dalam penulisan sejarah Indonesia dengan mengangkat sosok Reeser dan kiprahnya yang menandai awal perkembangan sosialisme modern di Hindia-Belanda pada awal abad 20.

Kedatangan Orang-Orang Sosialis Awal

Sebagai seorang muda yang penuh semangat, Reeser terlibat dalam pergerakan sosialis dan menjadi anggota aktif Social Democratische Arbeiders Partij (SDAP) atau Partai Buruh Sosial Demokrat di Belanda. Ia menceritakannya sendiri lewat sebuah artikel yang ditulis pada 1899, dua tahun sebelum keberangkatannya ke koloni. Ia menulis artikel bersambung tentang perkembangan sejarah kontemporer dunia memasuki akhir abad 19.

Dalam tulisannya, ia menekankan semangat zaman pada fin de sicle (akhir abad) tentang “kemenangan altruisme melawan egoisme” melalui kebangkitan gerakan buruh yang terjadi di benua Eropa. Ia mengutip pernyataan menarik dari Ulrich von Hütten, seorang humanis dan tokoh reformasi Jerman abad ke-16, bahwa “betapa menyenangkannya hidup, karena semangat zaman telah bangkit” (“Overzicht der Wereldgeschiedenis in het jaar 1898”. Vragen van den dag, Jilid I, 1899). Altruisme dan kebangkitan semangat zaman baru itu terus melekat dalam diri Reeser ketika mulai bekerja di Hindia pada peralihan abad tersebut.

Reeser mulai mengajar di HBS pada 1902. Setahun kemudian, ia diangkat sebagai guru tetap sekolah itu. Situasi di koloni ketika ia mulai mengajar memang berbeda dengan semangat kebangkitan zaman baru di benua Eropa. Sesuai konstitusi pemerintah kolonial (Regerings Reglement 1854), koloni adalah wilayah terlarang untuk setiap jenis aktivitas politik, termasuk kegiatan politik yang dilakukan warga Eropa.

Aturan tersebut baru direvisi pada 1916 seiring reformasi politik Gubernur Jenderal Idenburg yang menginginkan perubahan bertahap di koloni. Namun, sebelum perubahan itu terjadi, situasi di koloni saat kedatangan Reeser jauh dari gegap gempita zaman baru di Eropa. Semangat altruisme zaman baru tersebut harus menghadapi kenyataan egoisme kehidupan sehari-hari orang Eropa di koloni: sekadar mencari peruntungan hidup dan segera pulang kembali ke kampung halaman dengan tabungan yang gemuk “sebelum menjadi tua di Hindia”.

Namun, Reeser bukan penonton pasif dalam gerak sejarah. Dengan segala keterbatasan di koloni, pada Juli 1903, ia menulis surat pembaca di harian Het Volk, organ SDAP, yang menyerukan kegiatan penggalangan dana di antara kaum sosialis yang tinggal di koloni sebagai sumbangan bagi persiapan partai mereka menghadapi pemilu 1905 di Belanda. Surat pembaca itu terbit pada 19 Juli 1903 di kolom kecil Het Volk yang menyampaikan pandangan aktivis yang tidak sudi tinggal diam.

“Bersama seorang teman di Jawa Barat, saya telah mempersiapkan pembentukan perkumpulan penyumbang (Kontributie Vereeniging),” tulis Reeser. “Anggota perkumpulan ini nantinya akan memberi sumbangan wajib sebesar f 1 setiap bulan. Nama penyumbang akan tetap dirahasiakan dan sumbangan dikirim atas nama saya melalui kwitansi lewat pos” (“Een Indisch Verkiezingfonds”, Het Volk, 19 Juli 1903).

Meski perkumpulan itu terbatas pada kalangan warga Belanda di Hindia, Kontributie Vereeniging sesungguhnya telah menjadi perkumpulan awal kaum sosialis. Namun sifat rahasia perkumpulan itu menyebabkan kiprahnya segera dilupakan.

Jejak sejarah Kontributie Vereeniging baru menjadi perhatian ketika Ir. Charles G. Cramer, tokoh pendiri Indische Social-Democratische Partij (ISDP) yang kemudian menjadi anggota Volksraad, mengungkapkan keterlibatannya dalam kegiatan pengumpulan dana yang dilakukan KV dalam wawancara yang terbit di Het Vrije Volk pada 20 Oktober 1959. Bertepatan dengan momen perayaan usianya yang ke-80. Menurut Cramer, ia telah menjadi bagian perkumpulan penyumbang itu dengan nomor keanggotaan 48.

Jumlah penyumbang menurutnya mencapai 68 orang. Tidak ada nama dan alamat penyumbang yang disebutkan, selain nomor urut anggota dan besarnya sumbangan yang diberikan. Sampai tahun 1910, Cramer menyatakan bahwa KV telah berhasil mengumpulkan sejumlah f 2.672,02 yang langsung dikirim ke pengurus SDAP di negeri Belanda (“Ch. G. Cramer Tachtig Jaar”. Het Vrije Volk, 20 Oktober 1959).

Seperti Reeser, Cramer adalah tokoh sosialis Belanda di Hindia awal abad ke-20. Ia lahir di Sidoarjo, Jawa Timur, dari keluarga Eropa yang telah lama bermukim di Hindia. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah, Cramer melanjutkan pendidikannya di Universitas Delft yang menjadi pusat perkembangan pemikiran Marxisme di kalangan mahasiswa — situasi yang membuat kampus itu dianggap “kampus merah”. Kampus ini juga melahirkan banyak pimpinan sosialis seperti Ir. H. Van Kol, pendiri SDAP. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Cramer kembali ke Hindia-Belanda dan bekerja sebagai tenaga ahli pada Dinas Pengairan dan Pekerjaan Umum (Waterdienst en Burgerlijke Openbare Werken) di tempat kelahirannya.

Kesaksian Cramer mengundang Reeser menulis tanggapan dalam surat pembaca di surat kabar yang sama dan menulis ihwal Kontributie Vereeniging. Reeser juga menjelaskan mengapa dana yang terkumpul baru dapat dikirimkan pada 1910, terlambat 5 tahun dari rencana. Menurut Reeser, perkumpulan tersebut kesulitan melakukan pengiriman dana ke SDAP karena ketakutan De Javasche Bank atas sifat politik di balik pengiriman dana tersebut. Dalam era ketika koloni merupakan wilayah yang tertutup secara politik, bank tersebut tidak mau mengambil risiko bertentangan dengan pemerintah. Perkumpulan tersebut terpaksa menunda pengiriman dana dan memindahkan uang perkumpulan ke bank lain yang memungkinkan dilakukannya pengiriman.

Kaum Sosialis sebagai Middenstand

Diktum tentang basis yang menentukan superstruktur mendapatkan tempatnya dalam kisah dan kiprah Reeser yang mengilustrasikan fase paling awal perkembangan sosialisme modern di Hindia-Belanda.

Karl Marx baru merampungkan tesis utama dalam Das Kapital tentang eksploitasi nilai lebih pada kapitalisme modern setelah meninggalkan Jerman dan menetap di Inggris, pusat kemajuan kapitalisme modern. Begitu juga dengan perkembangan gagasan sosialisme modern di koloni Hindia-Belanda. Ia tidak berkembang di Batavia yang menjadi pusat administrasi kolonial, tetapi di Surabaya yang merupakan pusat industri dan perdagangan di Hindia-Belanda awal abad 20.

Uraian tentang sejauh mana Surabaya tumbuh sebagai pusat industri penting di koloni dapat dilihat dalam ulasan tokoh sosialis Belanda lain, Van Kol, yang mengunjungi kota tersebut pada 1903. Van Kol menyebut sumber kekayaan yang muncul di Surabaya berasal dari produksi tanaman tebu di sekitar Pasuruan dan Besuki yang mencapai 22.445 bouw atau 22 persen dari seluruh lahan tebu yang ada di Jawa. Perhitungan ini belum memasukkan lahan-lahan di pusat penanaman tebu di Jombang, Kediri, dan Malang sebagai kawasan hinterland yang menjadi tulang punggung perkembangan ekonomi di Surabaya.

Ia melihat Surabaya sebagai pusat industri yang tak terbantahkan melalui keberadaan pabrik mesin uap, galangan kapal, gudang-gudang kopi, gula dan minyak, pabrik semen dan penggilingan kopi; selain kompleks industri berat, pabrik baja dan kimia di wilayah pelabuhan yang membentuk lingkungan kota, serta produksi persenjataan modern di koloni (“Uit Onze Kolonie”. Soerabajasch Handelsblad. Van Kol, 1903).

Van Kol juga menyempatkan diri menyusuri sudut-sudut lain kota sepanjang kompleks pabrik dan persimpangan jalan menuju gang-gang perkampungan pribumi pada malam hari. Ia menulis bagaimana di balik kemajuan kota terdapat sisi kelam kemiskinan yang tampak dari rumah-rumah bordil dari bambu sederhana tempat para pelacur Jepang, Indo-Eropa, Tionghoa dan Pribumi bekerja pada malam hari. Van Kol menuturkan, secara berkala dokter rumah sakit di kota itu memeriksa kesehatan sekitar 50 sampai 60 pekerja seks komersial di lingkungan yang menjadi pusat penyebaran sifilis dan penyakit kelamin lainnya.

Rumah sakit umum (Stadsverband) yang menjadi fasilitas kesehatan publik juga, dalam tinjauan Van Kol, bukan layaknya rumah sakit. Ia lebih menyerupai penjara dengan jeruji hitam dan gembok besar yang menyebabkan penduduk pribumi lebih memilih berobat secara tradisional dari dukun-dukun kampung.

Tempat lain yang juga dikunjungi Van Kol adalah tangsi-tangsi tentara yang menampung veteran perang dari para serdadu Ambon dan orang-orang Eropa miskin dengan praktik pergundikan yang umum sepanjang akhir abad 19. Buah dari pergundikan ini adalah lahirnya orang-orang Indo-Eropa. Dalam konsepsi umum orang Eropa pendatang, kaum Indo mengalami kemerosotan moral di bawah pemeliharaan ibunya, yang menjadi gundik orang-orang Eropa saat bertugas di koloni. Mereka lekat dengan kemiskinan yang jauh dari standar hidup layak orang-orang Eropa.

Dalam suasana seperti itulah kaum sosialis Belanda membangun lingkaran pergaulan yang terbatas di koloni. Kesamaan latar belakang pekerjaan membuat mereka menjadi begitu menarik. Orang-orang itu kebanyakan bekerja sebagai insinyur dan guru yang menempati posisi lapis menengah dan bawah struktur sosial di kota-kota kolonial. Mereka juga mendukung SDAP dan turut aktif menggulirkan pembentukan perkumpulan sosial demokrat di Hindia.

Selain Reeser, kaum sosialis di Surabaya meliputi nama-nama seperti Van Ravensteyn (kepala sekolah HBS Surabaya), Van Burink, C. Hartogh, dan Bernard Cooster yang kediamannya menjadi tempat tinggal Sneevliet. Mereka bagian dari pengelompokkan sosial baru di kota-kota kolonial Hindia-Belanda yang mewakili kalangan middenstand atau pekerja lapis menengah bawah di dalam struktur birokrasi kolonial. Umumnya mereka berprofesi sebagai guru dan tenaga penyelia di departemen teknis pemerintah seperti Cramer dan Reeser.

Kaum Sosialis Membawa Gagasan Modern

Meski ruang gerak kaum sosialis dibatasi undang-undang, mereka tetap terlibat dalam serangkaian agenda politik. Tidak lama setelah pemerintah kolonial menggulirkan reformasi politik menjelang pembentukan dewan kota sebagai lembaga kunci dalam kehidupan politik warga, pada Januari 1906, di Surabaya dibentuk Komite Pemilihan (Verkiezingscomitte). Komite ini mempersiapkan warga kota dalam pemilihan wakil-wakil mereka di dalam dewan. Van Ravensteyn dan Reeser duduk sebagai ketua dan sekretaris komite. Pengaruh pandangan politik keduanya segera terlihat.

Pertama, komite memutuskan mengundang kehadiran perempuan dalam proses pemilihan meski ketetapan pemerintah tidak memberi perempuan hak untuk memilih dan dipilih. Mereka membuat proses pemilihan di Surabaya sangat berbeda di Batavia, Bandung, dan Semarang. Pemilihan di Surabaya menjadi satu-satunya proses yang membuka pintu bagi kaum perempuan dan mengizinkan mereka di dalam rapat umum warga kota.

Kedua, komite memutuskan mengirim undangan kepada 25 warga pribumi, Tionghoa, dan Timur Asing lain untuk hadir dalam proses pemilihan. Komite memberikan kesempatan kepada mereka untuk turut serta menyampaikan pandangan dan harapan di hadapan para kandidat dari warga Eropa (“De Kiesvergadering te Soerabaja: Mededeelingen van het Verkiezingscomite”. Soerabajasch Handelsblad. 22 Januari 1906).

Setelah Dewan Kota terbentuk, kiprah Reeser dan perhatiannya terhadap persoalan publik di Surabaya terus berlanjut. Pada 1909, dalam rapat pembentukan Surabaya Kiesvereeniging yang mempersiapkan kandidat bagi dewan kota, Reeser menyerukan agar dalam anggaran dasar perkumpulan tersebut memasukkan orang-orang pribumi dan kaum perempuan. Ia memperlihatkan penentangan arus besar sentimen rasialisme dan ideologi patriarki yang membentuk sikap kebanyakan warga Eropa di koloni.

Menelusuri kiprah Reeser memperlihatkan persoalan politik di Hindia jauh lebih luas dari sekedar tema yang tertera dalam penulisan sejarah Indonesia. Ras, kelas, gagasan nasionalisme, termasuk prinsip politik kewargaan, menjadi bagian penting dalam perkembangan kehidupan kota-kota kolonial awal abad ke-20.

Satu dekade kemudian, setelah pemerintah kolonial mencabut larangan kegiatan politik di koloni, lahirlah organisasi kaum sosial demokrat yang pertama di Hindia-Belanda dengan nama Indische Social-Demokratische Vereeniging (ISDV) atau Perkumpulan Sosial-Demokrat Hindia pada 9 Mei 1914. Dalam rapat yang melibatkan sekitar tiga puluh aktivis sosial demokrat di Marinegebouw, Reeser terpilih menjadi ketua ISDV yang pertama. Kantor pusatnya ditetapkan di Surabaya. Sementara Sneevliet, yang baru datang ke Hindia pada 1912, menjadi pemimpin redaksi Het Vrije Woord, organ perkumpulan tersebut yang bertempat di Semarang.

Sejak terbentuknya ISDV, pergerakan kaum sosialis Belanda mulai mendapatkan lahan untuk digarap. Hal itu menandai gerak zaman baru di koloni dalam apa yang disebut Shiraishi (1990) sebagai “penerjemahan kosa kata dunia modern” seperti sosial demokrasi, mogok, dan disiplin partai. Namun perkembangan ISDV juga menandai perpecahan kalangan sosialis Belanda di Hindia. Pecahnya Revolusi Rusia pada Oktober 1917 semakin meneguhkan keyakinan faksi radikal di ISDV bahwa revolusi kaum sosialis dapat dilakukan di negeri dengan tahap perkembangan kapitalisme yang masih terbelakang, seperti Rusia saat itu.

Sneevliet dan lingkaran politiknya di Semarang menginginkan partai yang lebih mandiri dari ikatan dengan negeri induk, dan langsung menjadi bagian dari gerakan komunisme internasional (Komintern). Posisi ini mendapat tantangan dari aktivis sosialis lain yang ingin mempertahankan afilisasi politik dengan SDAP di Belanda.

Crammer yang bertahan pada posisi terakhir pada akhirnya memisahkan diri dari ISDV dan bersama aktivis sosialis lainnya membentuk Indische Social-Democratische Partij (ISDP). Organisasi ini menjadi corong suara moderat kalangan sosial-demokrat di Hindia.

Dalam pertarungan politik tersebut, Reeser memutuskan kembali ke Belanda. Setelah itu, ia kembali lagi ke Hindia untuk bekerja dalam jabatan baru sebagai kepala sekolah HBS di Semarang. Ia memutuskan tidak lagi terlibat dalam kegiatan politik karena posisi barunya itu dan juga karena perkembangan-perkembangan baru yang terjadi di dalam pergerakan kaum sosialis di Hindia.

Perspektif Baru Sejarah Pergerakan Nasional

Cerita tentang sosok dan kiprah Reeser sepanjang satu dekade awal abad 20 telah menjadi petunjuk penting perkembangan sosialisme modern di Hindia-Belanda. Reeser menjadi petunjuk bahwa studi sejarah pergerakan nasional Indonesia awal abad 20 masih terlalu terbatas dan membutuhkan revisi lebih lanjut.

Para penulis sejarah Indonesia masa kini memang memiliki sebuah hambatan besar dalam melihat hubungan dan saling singgung dengan orang-orang, budaya, dan peradaban berbeda, terutama yang terkait latar belakang Eropa. Orang-orang Eropa, Belanda, dan peradaban Barat yang mereka bawa (sekali lagi akibat pengaruh inferioritas kompleks yang akut), telah dinihilkan dalam penulisan sejarah Indonesia sejak 1957 ketika ide historiografi Indonesia sentris mulai digagas. Akibatnya, penulisan sejarah Indonesia menjadi semakin terisolir dari perkembangan dunia yang lebih luas.

Pengaruhnya cukup nyata bukan saja dalam dunia tindakan tetapi juga pemikiran. Saat pertama kali bertemu Tjokroaminoto, Sneevliet sempat menyinggung bahwa ia sempat melihat Tjokroaminoto sibuk membaca De Socialisten: Personen en Stelsel dalam upaya membangun landasan teoritis dan program organisasinya (Perthus, 1976). Buku yang sedang dibaca Tjokroaminoto adalah karya besar Hendrik Peter Godfried Quack, seorang sejarawan, ahli hukum, dan tokoh pergerakan sosialis Belanda.

Di sini terdapat gambaran cukup jelas bahwa pergerakan orang-orang Indonesia bukan pergerakan yang berjalan sendiri. Ia senantiasa bersinggungan dengan perkembangan-perkembangan lain di Hindia dan dunia. Tjokroaminoto yang selalu digambarkan sebagai pemikir Islam, membangun horison pemikirannya lebih dari sekadar apa yang terjadi di Hindia semata. Ia harus beradaptasi dengan dunia pergerakan yang membawa serta ide perjuangan kelas di koloni. Ide tersebut tentu saja bersinggungan dengan persoalan ketimpangan rasial, modernitas kota kolonial, keterbelakangan cara produksi kapitalisme, serta saling kaitan gagasan modern barat dan nasionalisme Indonesia.

Keseluruhan tema ini memerlukan eksplorasi lebih dalam dibanding sekadar tema “keunikan sejarah Indonesia” di bawah bayang-bayang kajian wilayah (area studies), sebuah kajian yang dibakukan akademisi Barat. Dari rahim area studies itulah lahir serangkaian kajian awal tentang periode pergerakan nasional Indonesia. Dua contoh yang menonjol adalah karya Ruth T. McVey (1965) tentang kemunculan gerakan komunis di Indonesia dan Takashi Shiraishi (1990) tentang radikalisme kerakyatan di Jawa.

Dua magnum opus tersebut tidak dapat disangkal telah memberikan sumbangan besar dalam kajian sejarah Indonesia. Persoalannya adalah apakah para peneliti sejarah Indonesia cukup merasa puas untuk terus mereproduksi pemikiran lama dalam karya-karya yang sudah menjadi tua itu? 


Dengan mengingat adagium bahwa setiap generasi menulis sejarahnya sendiri, revisi dan pengayaan tema sejarah pergerakan nasional Indonesia tampaknya menjadi agenda penting bagi sejarawan Indonesia masa kini.