Ilustrasi pembantaian di Rawagede.
Pengadilan Den
Haag menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan harus membayar kompensasi
pada 2012.
Kabut
mesiu.
Hujan
merah mengguyur
antero
desa.
Alphonse Jean Henri
Wijnen alias Fons harus meninggalkan anak istrinya di Belanda.
Laki-laki yang di masa Perang Dunia II ikut resistensi melawan tentara Jerman
ini mesti dikirim ke Indonesia.
Nama Alphonse Wijnen,
dalam A Bridge Too Far: The Classic History of the Greatest Battle of
World War II (2010) karya Cornelius Ryan, disebut sebagai letnan satu
dalam Princes Irene Brigade. Menurut catatan majalah bulanan veteran Checkpoint (Nomor
8, Oktober 2012: 22) dalam artikel "Dodental Rawagede-Strookt Niet Met
Werkelijkheid" yang ditulis Dick Schaap, tahun 1947 Wijnen adalah Mayor
dalam staf Brigade Infanteri ke-2.
Pagi buta pukul enam, persis
hari ini 70 tahun lalu, pada 9 Desember 1947, Mayor Wijnen adalah militer
dengan pangkat tertinggi di antara serdadu-serdadu Belanda yang sedang berjalan
kaki ke sebuah desa di perbatasan Karawang dan Bekasi. Kala itu, desa
tersebut masih bernama Rawagede. Para bawahan Wijnen adalah serdadu dari
Batalyon ke-3 Resimen Infanteri ke-9.
Menurut keterangan salah
satu tentara bernama Sersan Fokke Dijkstra yang dikutip majalah Checkpoint, kala itu mereka berjumlah 90 orang.
Pengakuan Dijkstra yang lain, yang dikutip dalam Serdadu Belanda
di Indonesia 1945-1950 (2016), dirinya adalah Sersan Intelijen Wajib
Militer di Batalyon ke-3 Resimen Infanteri ke-9 (hlm. 150).
Sementara sumber lokal
seperti tempo.co (09/12/2011) dan Kompas.com (18/09/2011) menyebut jumlah pasukan
sebanyak 300-an personil. Lazimnya memang seorang Mayor memimpin ratusan
orang.
Dalih mereka memasuki desa
itu adalah mencari Lukas Kustaryo. Di mata serdadu-serdadu Belanda, Lukas
adalah begundal Karawang. Ia sulit dibekuk dan kerap merugikan militer Belanda
di daerah tersebut. Laki-laki kelahiran Magetan yang mereka cari itu, menurut
Hario Kecik dalam Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2010)
adalah mantan Budancho (komandan regu, setara sersan) dalam Tentara Sukarela
Pembela Tanah Air (PETA) di zaman Jepang (hlm. 34).
Setelah Indonesia merdeka,
seperti ditulis Dien Madjid dkk dalam Jakarta-Karawang-Bekasi dalam
Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moeʼmin (1999), di tahun 1947,
Lukas adalah Komandan Kompi dari Batalyon Banu Mahdi. Satuan itu termasuk dalam
Divisi III Siliwangi yang dipimpin Kolonel Abdul Haris Nasution (hlm.
244).
Pembantaian
yang Terus Membekas dalam Ingatan
Pasukan Belanda itu dipecah
menjadi tiga kelompok. Dijkstra ikut dalam kelompok yang masuk dari sisi kiri.
Senjata api pasukan terdiri dari senapan, senapan otomatis Sten Gun, dan
mortir 2 inci.
"Sekitar pukul sepuluh
kami menghadapi perlawanan yang kuat. Memang ada konsentrasi anggota geng yang
bersembunyi di daerah Rawagede untuk mencegah kita mencapai kampung,"
tutur Dijkstra di majalah Checkpoint (hlm. 22).
Perlawanan itu memang
dimaksudkan agar tentara Belanda tak mencapai kampung. Sementara mereka sendiri
berharap, orang yang sedang dicari bertempur melawan mereka.
Perlawanan berhasil
dipadamkan pasukan di mana Fokke ada di dalamnya. Sampai di kampung tujuan,
mereka tak menemukan orang yang dicari. Padahal mereka sudah jauh berjalan
kaki. Jadilah mereka sebagai tentara pendudukan di desa, tanpa hasil perburuan
seperti yang diharapkan.
“Tentara Belanda pun
memerintahkan semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja belasan tahun di
kampung itu berdiri berjejer dan memberondong mereka dengan senapan.
Diperkirakan 431 orang meninggal akibat penembakan tersebut,” demikian tulis
sebuah berita di antaranews (11/12/2011).
“Semua laki-laki
diperintahkan keluar dari rumah, lalu disuruh berbaris. Terus kepala mereka
ditembak dengan senapan pasukan Belanda, hanya wanita dan anak-anak saja yang
lolos," ujar Wanti, salah satu janda korban pembantaian Rawagede, seperti
dilansir antaranews.
Pembunuhan itu tentu akan
dibandingkan, bahkan disamakan, dengan pembunuhan yang dilakukan pasukan khusus
Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan Kapten Raymond Paul Pierre Westerling
di Sulawesi Selatan—peristiwa yang terjadi hampir setahun sebelumnya. Dalam
tragedi itu, ribuan orang dibantai. Tercatat, apa yang dilakukan pasukan
Westerling adalah rangkaian tur pembantaian dari desa ke desa.
Peristiwa
Rawagede tidak dirancang seperti tur pembantaian Westerling. “Bagi kami,
aksi 9 Desember 1947 hanya tindakan yang relatif kecil. Menjelang pukul lima
kami kembali ke bivak kami,” aku Fokke Dijkstra di majalah Checkpoint.
Menurut Dijkstra, korban
yang terbunuh sekitar 31 orang. Sementara sumber lokal menyebut 431 orang.
Dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950, ia merasa kesatuannya
“difitnah telah melakukan pembunuhan atas 431 penduduk desa. Dari jumlah itu
bisa dikurangi dengan mudah empat ratus” (hlm. 150). Ia merasa itu tidak
adil.
Berapapun jumlahnya,
penduduk desa yang statusnya sipil haram dibunuh. Negara dan tentara beradab di
mana pun, paham konvensi ini. Setelah puluhan tahun, pembantaian di Rawagede
masih diingat. Meski Rawagede kini sudah bersalin nama menjadi
Balongsari.
Pemerintah
Belanda Dinyatakan Bersalah
Sejak tahun 2006, sebuah
kelompok yang menamakan diri Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia
(KNPMBI) bersama para janda dan saksi korban pembantaian Rawagede menggugat
Pemerintah Belanda. Mereka menuntut permintaan maaf maupun ganti rugi. Liesbeth
Zegveld, pengacara dari biro hukum Bohler, mendampingi mereka.
Alhasil, pada 14 September
2011, Pengadilan Den Haag menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan harus
bertanggung jawab. Mereka juga diwajibkan membayar kompensasi sebesar 20 ribu
euro atau sekitar Rp240 juta untuk tiap korban.
Sebesar apapun jumlah yang diterima, tetap saja nyawa bukan sesuatu yang bisa ditebus dengan uang. Sejarawan senior Anhar Gonggong, yang ayahnya menjadi korban pembantaian Westerling, suatu kali pernah berujar: "yang terbunuh tidak akan bisa dihidupkan lagi."
Seharusnya memang ada hukuman bagi perwira pelaku pembantaian. Sang Mayor yang berwenang ketika pembantaian Rawagede itu belakangan hidup terhormat. Ia tak menjalani hukuman layaknya penjahat perang.
Menurut Cornelius Ryan (2010), Wijnen adalah letnan kolonel komandan garnisun infanteri di Eindhoven. Pangkat terakhirnya Kolonel. Sementara itu, menurut catatan Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD (1988: 172), Lukas Kustaryo yang dicari-cari belakangan jadi komandan di TNI dengan pangkat terakhir brigadir jenderal.
Sebesar apapun jumlah yang diterima, tetap saja nyawa bukan sesuatu yang bisa ditebus dengan uang. Sejarawan senior Anhar Gonggong, yang ayahnya menjadi korban pembantaian Westerling, suatu kali pernah berujar: "yang terbunuh tidak akan bisa dihidupkan lagi."
Seharusnya memang ada hukuman bagi perwira pelaku pembantaian. Sang Mayor yang berwenang ketika pembantaian Rawagede itu belakangan hidup terhormat. Ia tak menjalani hukuman layaknya penjahat perang.
Menurut Cornelius Ryan (2010), Wijnen adalah letnan kolonel komandan garnisun infanteri di Eindhoven. Pangkat terakhirnya Kolonel. Sementara itu, menurut catatan Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD (1988: 172), Lukas Kustaryo yang dicari-cari belakangan jadi komandan di TNI dengan pangkat terakhir brigadir jenderal.