Biarkan Aku Yang Pergi
Karya Dinda Pelangi
Malam yang sejuk mengiringi kesepianku. Angin malam turut
membelai lembut rambutku. Menemaniku yang tengah sendiri menatap indahnya bumi.
Sebagai teman paling setia dikesendirianku dalam ketidakadilan ini.
“Oh Tuhan, kapan semuanya akan berubah?” tanyaku dalam
pengharapan.
Tiba-tiba pintu kamarku diketuk dengan cukup pelan.
“pasti bi Imah.” Tebakku
“iya, sebentar!” sahutku sembari berjalan dari serambi kamar.
“Maaf non, waktunya makan malam. Yang lain sudah ngumpul
dibawah.” Ucap Bi Imah saat pintu kamarku terbuka.
“ok bi Dera juga udah lapeer banget.” Candaku padanya.
Bi Imah adalah seseorang yang merawatku sejak lahir. Bagiku, ia
sudah seperti Ibu kandungku. Dirumahku, hanya Bi Imah yang peduli dengan keadaanku.
Disaat aku sakit, hanya ia yang selalu repot menyiapkan obat, hanya ia yang
selalu tahu betapa sedihnya aku disaat nilai raportku jauh dari nilai kak Dara.
Hanya ia yang tahu betapa aku ingin seperti kak Dara, saudara kembarku.
****
“wah ada ayam bakar
nih. Heem maknyus” ucapku seraya menduduki kursi favoritku.
“dasar gak sopan…”
sindir Ayah padaku.
“makanya, jangan
nyerocos aja dong jadi cewek.” Timpal kakakku, Virgo.
“iya Dera, kamu duduk
dulu baru ngomong, kan ada Papa sama Mama disini. Jadi sopan dikit Ra.” Tambah
Kak Dara.
“iya Dera, betul tuh
kata Dara. Contoh dia.” Tambah Ibu lagi.
“ok, aku pergi.
Silahkan makan!!” ucapku dengan sinis.
Akupun bergegas naik
menuju kamarku tanpa sedikitpun menyentuh makanan disana.
Padahal sebenarnya
maagku kambuh dan rasanya sangat perih. Tapi lebih perih lagi disaat aku tak
pernah mendapatkan kasih sayang dari semua orang yang aku sayangi.
Matahari menjelma
masuk kedalam kamarku yang pemiliknya masih tertidur lelap. Hingga aku
terbangun karena silaunya sinar yang menerpa mataku.
“humh, udah pagi to”
ucapku pada diri sendiri,
Aku bergegas mandi dan
memakai pakaian sekolahku. Dengan aksesoris biru yang lengkap. Pagi ini, aku
tak ingin sarapan. Aku hanya mengunjungi Bi Imah yang ternyata sedang
menyiapkan bekal untukku.
“makasih ya Bi, Dera
sayang Bibi.” Ucapku dengan tulus padanya
“iya non, Bibi juga
sayangg banget sama non Dera, semangat ya Non sekolahnya.”
Sahut bi Imah
menyemangati.
Setibanya disekolah,
aku segera menuju ruangan tempatku ulangan. Jadwal hari ini adalah matematika
dan bahasa inggris. Pelajaran menghitung yang sangat menyebalkan untukku.
Karena aku tak seperti kak Dara yang jago menghitung. Dugaanku tepat, soal kali
ini susahnya minta ampun. Hingga kertas ulanganku hampir tak terisi. Namun
kalau bahasa inggris, inilah kehebatanku. Semua soal dapat kukerjakan dengan
mudah. Karena sejak kecil aku sudah sangat hebat berbahasa inggris. Seperti Om
Frans dan Tante Siska yang semasa di Jakarta sangat menyayangiku jauh lebih
besar dari orang tua kandungku. Namun kini mereka telah pindah ke Amerika
dengan anaknya, Dimas.
****
Waktu seakan berjalan dengan sungguh cepat, kini saatnya pembagian hasil belajar siswa. Kebetulan, aku dan kak Dera berbeda kelas dan sekolah. Kalau aku masih berada dikelas satu SMA, sedangkan ia sudah berada dikelas dua. Semua terjadi karena aku pernah tak naik kelas sewaktu disekolah dasar. Kalau kak Dara sengaja Papa sekolahkah di sekolah terfavorit di Jakarta, sedangkan aku bersekolah di SMA yang didalamnya hanyalah siswa buangan dari sekolah lain yang tidak menerima kami. Karena nilaiku tak sehebat nilai kak Dara dan Kak Virgo. Mereka memiliki IQ yang jauh lebih tinggi daripada aku.
Waktu seakan berjalan dengan sungguh cepat, kini saatnya pembagian hasil belajar siswa. Kebetulan, aku dan kak Dera berbeda kelas dan sekolah. Kalau aku masih berada dikelas satu SMA, sedangkan ia sudah berada dikelas dua. Semua terjadi karena aku pernah tak naik kelas sewaktu disekolah dasar. Kalau kak Dara sengaja Papa sekolahkah di sekolah terfavorit di Jakarta, sedangkan aku bersekolah di SMA yang didalamnya hanyalah siswa buangan dari sekolah lain yang tidak menerima kami. Karena nilaiku tak sehebat nilai kak Dara dan Kak Virgo. Mereka memiliki IQ yang jauh lebih tinggi daripada aku.
“Pa, ambilin raport
Dera ya.” Pintaku
“Papa sudah janji sama
Dara kalau Papa yang akan mengambilkan raportnya. Kalian kan beda sekolah.”
Jawab Ayahku.
“Ma, ambilin raport Dera
ya!” pintaku lagi pada Mama.
“Mama udah janji sama
Virgo ngambilib raportnya, dia kan sudah kelas tiga jadi harus diwakilin.”
Jawab Mama.
“oh gitu ya.” Balasku
dengan kecewa.
Aku hanya bisa
menangis sendirian didalam kamar. Tidak ada satu orangpun yang mau mengambilkan
raportku. Jalan terakhir adalah Bi Imah. Dan tentu saja ia sangat mau
mengambilkan raportku.
“Gimana bi hasilnya?”
tanyaku dengan penasaran
“Non Dera juara 1 non.”
Ucap bi Imah dengan semangat.
“hah? Beneran bi?”
sahutku tak kalah semangat.
Ternyata usahaku tak
sia-sia, akhirnya aku bisa menyamai prestasi kak Dara.
****
Setibanya dirumah, semua orang yang sedang tertawa ria melihat hasil belajar kak Dara dan kak Virgo menjadi terdiam disaat kedatanganku dan Bi Imah.
****
Setibanya dirumah, semua orang yang sedang tertawa ria melihat hasil belajar kak Dara dan kak Virgo menjadi terdiam disaat kedatanganku dan Bi Imah.
“gimana hasilnya Ra?,
pasti jelek.” Ucap kak Virgo menyindirku.
“gak ko, aku juara 1.”
Ucapku dengan semangat.
“ah, juara 1
disekolahmu pasti juara terakhir dikelas Dara.” Ledek Ayah padaku.
Aku kecewa,
benar-benar kecewa karena semua prestasi yang kuraih tak penah dihargai sama
sekali. Dengan kecewa aku berlari menuju kamarku, kuratapi semua ketidakadilan
ini. Aku tidak keluar kamar selama dua haripun tak ada yang peduli.
Semua orang dirumah
hanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, tak terkecuali
Bi Imah yang hampir
setiap jam membujukku untuk keluar. Maagku kambuh, rasanya teramat perih dari
yang biasanya.
“oh Tuhan, kuatkan
aku!” pintaku
Dihari ketiga aksi
diamku dikamar, tiba-tiba rumahku terdengar sebuah suara yang sangat kukenal.
Ternyata hari ini, keluarga Om Frans sudah tiba di Jakarta untuk berlibur
bersama keluarga kami.
“Dimas? Aku
merindukanmu.” Ucapku dengan tertunduk lesu dikamar.
Aku keluar kamar untuk
menemuinya, namun ternyata ia sudah berubah dan tak peduli lagi padaku.
Semuanya benar-benar berubah, dan kini janjinya ia ingkari untuk menemuiku.
Penantianku sia-sia, semua orang telah membenciku dan menjauhiku. Aku sendirian
dirumah, bi Imah pulang kekampung karena anaknya sakit. Sedangkan yang lain
sedang makan malam dihotel. Dan aku? Tertinggal disini.
****
Aku hanya makan dan terus memasukkan roti berselai srikaya kemulutku. Sedangkan yang lain asyik berbincang-bincang dengan topic kak Dara dan Dimas. Yang aku tahu, mereka terus membanggakan dua orang yang berprestasi tersebut. Hingga Om Frans dan Tante Siska juga turut berubah padaku. Semua orang mengucilkanku disini.
Aku hanya makan dan terus memasukkan roti berselai srikaya kemulutku. Sedangkan yang lain asyik berbincang-bincang dengan topic kak Dara dan Dimas. Yang aku tahu, mereka terus membanggakan dua orang yang berprestasi tersebut. Hingga Om Frans dan Tante Siska juga turut berubah padaku. Semua orang mengucilkanku disini.
Sesudah sarapan pagiku
habis, aku segera pamit menuju taman belakang yang ternyata disana ada kak Dara
dan seseorang yang sangat aku sayangi, kak Dimas.
Disana, aku sedang
melihatnya memberikan setangkai mawar pada kak Dara. Ternyata mereka sudah
jadian dan aku tahu, bahwa kak Dimas telah melupakanku.
****
Akhirnya, hari yang telah lama kunantikan tiba juga. Hari ini, pertandingan karateku akan berlangsung. Namun sayang, semua orang yang kusayang tak ada yang mau hadir disini. Semuanya memilih hadir dilomba kak Dara, olimoiade sains. Walau sedikit kecewa, akan kubuktikan bahwa aku adalah Dera yang hebat. Keinginanku terwujud, aku menang dan meraih juara satu dipertandingan karate nasional yang diadakan di Jakarta.
“kita panggil, juara nasional karate tahun ini. Alderaya Zivanna dari Jakarta.” Panggil pembawa acara.
Akhirnya, hari yang telah lama kunantikan tiba juga. Hari ini, pertandingan karateku akan berlangsung. Namun sayang, semua orang yang kusayang tak ada yang mau hadir disini. Semuanya memilih hadir dilomba kak Dara, olimoiade sains. Walau sedikit kecewa, akan kubuktikan bahwa aku adalah Dera yang hebat. Keinginanku terwujud, aku menang dan meraih juara satu dipertandingan karate nasional yang diadakan di Jakarta.
“kita panggil, juara nasional karate tahun ini. Alderaya Zivanna dari Jakarta.” Panggil pembawa acara.
Dengan diiringi tepuk
tangan meriah, ku naiki podium kebesaranku, dan kurasakan aku sangat dihargai
disini.
****
Setibanya dirumah, kuletakkan foto keberhasilanku diruang tamu, namun disaat kedatangan kak Dara dan yang lainnya, kulihat kemurungan disana. Dan setelah melihat foto keberhasilanku, kak Dara malah menangis dan berlari menuju kamarnya.
Setibanya dirumah, kuletakkan foto keberhasilanku diruang tamu, namun disaat kedatangan kak Dara dan yang lainnya, kulihat kemurungan disana. Dan setelah melihat foto keberhasilanku, kak Dara malah menangis dan berlari menuju kamarnya.
“kamu sengaja meledek Dara?”
Tanya Papa dengan sinis.
“gak pa! maksud Papa apa
sih?” tanyaku tak mengerti.
“Dara kalah sedangkan
kamu menyombongkan diri dengan memajang fotomu diruang ini. kamu tahu kan bahwa
diruang ini hanya foto-foto keberhasilan Dara yang boleh menempatinya.” Jawab
Papa yang membuatku sangat kecewa.
“Lepas Fotomu!” ucap Mama
dengan agak ketus padaku.
Kulepas foto yang
sangat aku harapkan menjadi penghubung agar keluargaku menyanjungku. Sebuah
harapan yang sejak dulu selalu ku inginkan. Karena aku selalu iri disetiap kak
Dara dipuji dan disanjung oleh papa dan mama, serta semua tamu yang pernah
berkunjung kerumahku. Sekarang pertanyaan terbesarku adalah,
“apakah aku anak
kandungmu Ma? Pa?”
Pertanyaan yang tak
pernah terjawab oleh lisan, namun terjawab oleh perbuatan mereka padaku.
Seorang anak yang selalu tersingkirkan oleh ketidakadilan.
****
Hari demi hari terus berganti, dan semenjak itu pula kak Dara menjadi seseorang yang terpuruk. Aku bisa merasakan perasaannya yang tertekan karena ia kalah diolimpiade.
Hari demi hari terus berganti, dan semenjak itu pula kak Dara menjadi seseorang yang terpuruk. Aku bisa merasakan perasaannya yang tertekan karena ia kalah diolimpiade.
Yang kutahu, saudara
kembarku ini terlihat lemah dari yang biasanya.
“Udahlah kak, gak ada gunanya ditangisin terus.” Ucapku menyemangati.
“Udahlah kak, gak ada gunanya ditangisin terus.” Ucapku menyemangati.
“udahlah Ra, kamu
senang kan ngeliat aku kaya gini? Kamu senang kan ngeliat aku kalah?” jawabnya
dengan menangis.
“gak ka, gak. Aku gak
pernah ada niatan kaya gitu.” Sahutku.
“udahlah, pergi kamu
dari kamarku, pergi…” ucapnya terpotong karena akhirnya ia terjatuh tepat
didepanku.
“Pa, Ma, tolong kak
Dara. Kak Dara pingsan Pa!” beritahuku
“apa? Kamu apain sih
dia?” Tanya Papa sinis padaku.
“aku, aku gak ada
ngapa-ngapain dia pa.” sahutku dengan menyembunyikan kesakitanku.
“pasti penyakitnya kambuh lagi pa, ayo cepat kita bawa kerumah sakit.” Ucapku pada Papa.
“pasti penyakitnya kambuh lagi pa, ayo cepat kita bawa kerumah sakit.” Ucapku pada Papa.
****
Hari ini tepat seminggu sebelum ulang tahunku dengan kak Dara. Aku takut kehilangannya, saudara kembarku yang sangat aku sayangi. Dokter bilang bahwa ginjalnya sudah benar-benar rusak. Yang aku tahu, kini ginjalnya hanya satu setelah setahun yang lalu satu ginjalnya sudah diangkat. Sedangkan aku masih mempunyai dua ginjal.
Hari ini tepat seminggu sebelum ulang tahunku dengan kak Dara. Aku takut kehilangannya, saudara kembarku yang sangat aku sayangi. Dokter bilang bahwa ginjalnya sudah benar-benar rusak. Yang aku tahu, kini ginjalnya hanya satu setelah setahun yang lalu satu ginjalnya sudah diangkat. Sedangkan aku masih mempunyai dua ginjal.
“hanya saudara
kembarnya yang ginjalnya cocok dengan Dara. Jadi usahakan dengan secepat
mungkin diadakan pencangkokan ginjal Pak” beritahu dokter pada Papa.
Setelah itu, aku
menjadi sasaran semua orang yang menyayangi kak Dara. Semuanya memintaku untuk
mendonorkan satu ginjalku padanya. Niatku memang sudah bulat bahwa aku akan
mendonorkan kedua ginjalku pada kak Dara, tapi aku tak ingin ada yang tahu
semuanya. Karena aku tidak mau mereka akan menyayangiku karena bersimpati
denganku yang telah memberikan satu ginjal pada saudaraku. Aku hanya ingin
kasih sayang tulus dari mereka, entahlah bagaimana caranya agar aku
mendapatkannya.
“ah sudahlah Dera, kamu memang saudara yang kejam. Hanya menyumbangkan satu ginjal saja tidak mau. Untunglah ada seseorang yang baik hati yang mau menyumbangkannya pada Dara.” Ucap Papa
“ah sudahlah Dera, kamu memang saudara yang kejam. Hanya menyumbangkan satu ginjal saja tidak mau. Untunglah ada seseorang yang baik hati yang mau menyumbangkannya pada Dara.” Ucap Papa
“aku kecewa sama kamu
Dera, tega ya kamu sama kakak kamu sendiri.” Ucap Dimas dengan kecewa padaku.
“siapa yang
mendonorkan ginjalnya Pa?” Tanya kak Virgo.
“entahlah, pendonor
itu tidak mau diberitahu namanya. Bahkan ia memberikan dua ginjalnya dengan
gratis pada Dara. Dia benar-benar berhati malaikat.” Jawab papa.
“andaikan kalian tahu
kalau itu aku? Apakah aku akan diberi penghargaan dari Papa?” gumamku dalam
hati.
****
Beberapa jam sebelum
operasi pencangkokan dilakukan, aku menulis sebuah surat untuk semua orang yang
aku sayangi. Entahlah, aku merasa akan meninggalkan mereka semua. Rasanya, aku
sudah sangat lelah dengan hidupku sendiri. Sesudah selesai ku tulis, surat itu
kutitipkan pada Bi Imah. Akupun berangkat menuju rumah sakit untuk segera
menjalani operasi.
@ ruang operasi
Ruang ini tersasa
begitu menakutkan. Semua benda yang kulihat hanyalah jarum suntik dan gunting.
Alat-alat yang terlihat menakutkan bagiku. Aku dibawa lebih dulu keruang ini,
agar tidak ada yang tahu siapa aku sebenarnya. Posisiku dan kak Dara dipisahkan
oleh dinding pembatas. Hingga akhirnya aku dibius, dan kurasakan semuanya
gelap.
****
Seminggu kemudian. . . .
Seminggu kemudian. . . .
“akhirnya kamu sembuh
juga sayang. Mama khawatir banget sama kamu sejak kamu dioperasi. Untung ada
pendonor itu.” Ucap Mamanya dengan penuh kasih sayang.
“Dan Happy Brithday Dara…”
ucap semua orang serentak
“Makasih ya semuanya.
Aku senanggg banget. Oya, Dera mana ya Ma? Gak tau kenapa Dara kepikiran dia
terus. Hari ini kan ulang tahun kami” Sahut Dara.
“iya ya? Mana dia Bi?”
Tanya Ibunya pada Bi Imah
“Sebentar nyonya.”
Jawab Bi Imah dengan berlari menuju kamar Dara.
Dan beberapa menit
kemudian sudah tiba dengan membawa sepucuk surat.
“ini surat dari Non Dera sebelum pergi.” Beritahu Bi Imah.
“ini surat dari Non Dera sebelum pergi.” Beritahu Bi Imah.
Walau agak heran,
Ibunya pun membacanya dengan agak keras.
Untuk semua orang yang sangaaat Dera saying.
Untuk semua orang yang sangaaat Dera saying.
Mungkin saat kalian
baca surat ini Dera gak ada lagi disini. Dera udah pergi ketempat yang saangaat
jaauh. Oya, gimana kabar kak Dara? Gak sakit lagi kan? Semoga ginjalku dapat
membantumu untuk meraih semua mimpi-mimpimu yang belum terwujud.
Teruntuk PAPA yang SANGAT KURINDUKAN
Teruntuk PAPA yang SANGAT KURINDUKAN
Gimana Pa? rumah kita
udah tenang belum? Gak ada yang gak sopan lagi kan? Oh pasti gak ada dong ya?
Ya iyalah, Dera si pembuat onar kan udah gak ada.
Teruntuk MAMA yang
SANGAT-SANGAT KU RINDUKAN
Ma, Dera pasti akan
sangat rindu dengan teddy bear pemberian Mama lima tahun yang lalu. Ma, Dera
kangeeen banget pelukan Mama. Dera selalu iri saat Mama hanya mencium kak Dara
disaat ia tidur. Dera iri melihat Mama yang selalu menyemangati kak Dara disaat
ia sedang sedih. Dera iri dengan semua perhatian yang Mama berikan pada kak
Virgo dan kak Dara. Dera sangaat iri.
Teruntuk KAK VIRGO dan
saudara kembarku, DARA
Gimana kak, gak ada
lagi kan yang ganggu kalian belajar? Gak ada lagi kan yang nyetel music
keras-keras dikamar? Pasti rumah kita tenang ya, pastinya gak akan ada lagi
yang akan membuat kalian malu karena punya saudara yang bodoh bukan? Oh,
pastinya. Oya, SELAMAT ULANG TAHUN YA KAK, SELAMAT MENJALANI UMURMU YANG KE-17
TAHUN. Yang mungkin takkan pernah aku rasakan.
Kalian semua harus tau, betapa AKU SANGAT MENYAYANGI KALIAN. Mungkin dengan kepergianku, smeuanya akan tenang dan rumah kita menjadi tentram. Dera harap, gak aka ada lagi yang terkucilkan seperti Dera. Yang selalu menangis setiap malam. Yang selalu merindukan hangatnya kekeluargaan. Mungkin dengan kepergian ini, aku akan tahu bagaimana kalian akan mengenangku, seperti akuyang selalu mengenang kalian setiap malam dengan tangisan. . . Semoga KALIAN SEMUA BAHAGIA TANPA DERA, AAMIIN.
Salam rindu penuh tangis
bahagia
Alderaya Zivanna
Semua yang mendengar
menangis. Mereka bertanya-tanya pada Bi Imah dimana Dera. Namun tiba-tiba
telepon rumah berbunyi..
“iya, saya Hermawan,
ada apa ya?” Tanya Papanya dengan penasaran.
Dan sesaat kemudian Papanya menangis dan segera mengajak anggota keluarganya ke Rumah sakit. Dan mereka terlambat, Dera telah pergi untuk selama-lamanya. Dan menginggalkan berjuta penyesalan disetiap tangis yang jatuh. Kini, ia telah tenang dan jauh dari ketidakadilan selama hidupnya. Walau air mata tengah menangisinya yang telah pergi untuk selama-lamanya. . .
Dan sesaat kemudian Papanya menangis dan segera mengajak anggota keluarganya ke Rumah sakit. Dan mereka terlambat, Dera telah pergi untuk selama-lamanya. Dan menginggalkan berjuta penyesalan disetiap tangis yang jatuh. Kini, ia telah tenang dan jauh dari ketidakadilan selama hidupnya. Walau air mata tengah menangisinya yang telah pergi untuk selama-lamanya. . .
The End