Opini Bangsa - Tongkat Perppu dan Tongkat Musa
Pada hari muncul wacana dari Pemerintah untuk membubarkan HTI dll, malam
itu bersama KiaiKanjeng dan lebih 10 ribu massa kami “maiyahan” di
halaman Polres Malang Raya. Didokumentasi dengan baik oleh pihak Polres
saya menjelaskan “peta pengetahuan dan ilmu” tentang Khilafah. Sikap
dasar Maiyah adalah pengambilan jarak yang terukur untuk tidak mencintai
secara membabi-buta atau membenci dengan mata gelap dan amarah.
Pada hari lain sesudahnya berturut-turut di Yogya saya menerima tamu
dari DPP HTI, kemudian Kapolda DIY, sesudah itu rombongan para perwira
tinggi dari Mabes Polri. Tema pertemuan itu meskipun lebaran variabelnya
berbeda, tetapi fokusnya tetap seputar Khilafah. Pengetahuan saya
sangat terbatas, sehingga apa yang saya kemukakan kepada HTI maupun
Polri sama saja. Policy penciptaan Tuhan atas manusia yang dimandati
Khilafah, epistemologinya, koordinatnya dalam seluruh bangunan Syariat
Allah, mosaik tafsir-tafsirnya, dialektika sejarahnya dengan
berjenis-jenis otoritas pada kumpulan manusia, termasuk tidak adanya
regulasi penggunaan kata yang terbiaskan di antara substansi, filosofi,
branding, jargon politik, icon eksistensi, merk dagang dan pasar – yang
di dalam Islam disebut fenomena “aurat”.
Belum ada diskusi publik antara berbagai kalangan, termasuk pada Kaum
Muslimin sendiri, misalnya apakah mungkin bikin Warung Tempe Penyet
“Islam Sunni”, Kesebelasan “Ahlus Sunnah wal Jamaah”, Geng Motor “Jihad
fi Sabilillah”, Bengkel Mobil “25 Rasul”, produksi Air “Nokafir”, atau
Jagal Sapi “Izroil”. Tapi memang ada Band Group “Wali”, Bank “Syariah”
dan “Muamalat”, Sekolah Dasar Islam, atau Islamic Fashion. Meskipun saya
tidak khawatir akan muncul “Coca Cola Rasulullah saw”, Paguyuban “Obama
Atina Fiddunya Hasanah”, atau Kelompok Pendatang Haram “Visa Bilillah”;
tetapi saya merindukan ada Sekolah “Daun Hijau”, Universitas “Pohon
Pisang” atau merk rokok “Hisab Akherat”.
Belum ada diskusi strategis yang menganalisis kalau ada T-Shirt
bertuliskan “Islam My Right, My Choice, My Life”, apakah pemakainya
sedang meyakinkan dirinya sendiri yang belum yakin dengan Islamnya.
Ataukah ia unjuk gigi kepada orang lain. Ataukah ia bagian dari “aurat”,
sesuatu yang terindah dan sakral sehingga justru sebaiknya ditutupi,
sebagaimana bagian kelamin dan payudara. Sampai pada getolnya HTI dengan
kata “Khilafah” sampai menyebar jadi kesan umum bahwa HTI adalah
Khilafah, Khilafah adalah HTI, yang bukan HTI bukan Khilafah. Padahal
NU, Muhammadiyah, semua ummat manusia adalah Khalifatullah di Bumi.
HTI memerlukan satu dua era untuk pengguliran diskusi publik tentang
Khilafah, yang diwacanakan dengan komprehensi ilmu selengkap-lengkapnya,
dan menghindari keterperosokan untuk menjadi jargon politik, bendera
ideologi atau wajah identitas yang bersifat “padat”, yang membuat semua
yang di sekitarnya merasa terancam. Saya sempat kemukakan kepada
teman-teman HTI: “Bagaimana mungkin Anda menawarkan Khilafah tanpa
kesabaran berproses menjelaskan kepada semua pihak bahwa Khilafah
bukanlah ancaman, melainkan tawaran solusi bagi problem ummat manusia.
Kalau kita masukkan makanan ke mulut orang, tanpa terlebih dulu
mempersiapkan pemahaman tentang makanan itu, pasti akan dimuntahkannya.
Dan kalau yang Anda cekoki itu Penguasa, maka batang leher Anda akan
dicengkeram oleh tangan kekuasaannya”.
Kepada teman-teman Polri saya mohon “jangan membenci HTI, karena mereka
menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia. Mestinya
Anda panggil mereka untuk dialog, simposium 3-5 sesi supaya matang.
Kalau langsung Anda berangus, nanti ada cipratannya, akan membengkak,
serbuk-serbuknya akan malah melebar ke organ-organ lain. Mohon Anda juga
jangan anti-Khilafah, kita jangan cari masalah dengan Allah, sebab
Khilafah itu gagasan paling dasar dari qadla dan qadar-Nya. Kita punya
keluarga dan anak cucu, mari hindarkan konflik laten dengan Tuhan”.
Pandangan saya tentang Khilafah berbeda dengan HTI. Bagi HTI Khilafah
itu “barang jadi” semacam makanan yang sudah matang dan sedang
dinegosiasikan untuk diprasmanankan di atas meja Al-Maidah (hidangan).
Sementara bagi saya Khilafah itu benih atau biji. Ia akan berjodoh
dengan kondisi tanah yang berbeda-beda, cuaca dan sifat-sifat alam yang
berbeda. Benih Khilafah akan menjadi tanaman yang tidak sama di medan
kebudayaan dan peta antropologis-sosiologi yang berbeda. Kesuburan dan
jenis kimiawi tanah yang berbeda akan menumbuhkan Khilafah yang juga
tidak sama. Termasuk kadar tumbuhnya: bisa 30%, 50%, 80%. Saya bersyukur
andaikan kadar Khilafah hanya 10%. Saya belum seorang yang lulus di
hadapan Allah sebagai Muslim. Maka saya selalu mendoakan semua manusia
dengan segala kelemahan dan kekurangannya, mungkin keterpelesetan dan
kesesatannya, kelak tetap memperoleh kedermawanan hati Allah untuk
diampuni.
Biji Khilafah bisa tumbuh menjadi pohon Kesultanan, Kekhalifahan,
Kerajaan, Republik, Federasi, Perdikan, Padepokan, atau Komunitas saja,
“small is beautiful” saja. Allah menganjurkan “Masuklah ke dalam Silmi
setotal-totalnya” (kaffah). Dan Allah bermurah hati tidak menyatakan
“Masuklah ke dalam Islam kaffah”. Kelihatannya itu terkait dengan
kemurahan hati Tuhan tentang batas kemampuan manusia. Allah tidak
membebani manusia hal-hal yang melebihi kuasanya. Dunia bukan Sorga.
Dunia bukan kampung halaman, melainkan hanya tempat transit beberapa
lama. Tidak harus ada bangunan permanen di tempat transit. Kalau
bangunan Peradaban di Bumi bukan sistem besar Khilafah Islam, melainkan
hanya sejauh ikhtiar-ikhtiar Silmi, yang nanti dihitung oleh Allah
adalah usaha per-individu untuk menjadi Khalifah-Nya.
Kalau orang masih mau mandi, makan minum dan buang air besar maupun
kecil, masih tak keberatan untuk berpakaian, membangun rumah dengan taat
gravitasi, memasak air sampai mendidih, tidak keberatan untuk tidur
berselang-seling dengan kerja keras menghidupi keluarga – itu sudah
Khilafah, di mana manusia mematuhi asas kebersihan, kesehatan dan
kemashlahatan. Kalau hukum ditegakkan, ketertiban sosial dirawat
bersama, Pemerintah bertanggung jawab kepada rakyatnya, secara
substansial itu sudah Khilafah.
Khalifah adalah orang yang berjalan di belakang membuntuti yang di
depannya. Yang di depannya itu adalah kemauan Tuhan yang mengkonsep
seluruh kehidupan ini seluruhnya. Maka Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
Sila Pertama. Karena Boss Nasional dan Global kita adalah Tuhan. Sebab
semua kekayaan Tanah Air ini milik-Nya, kalau mau menggali isi tambang,
mau mengenyam hasil sawah dan perkebunan, rakyat dan Pemerintah
Indonesia bilang permisi dulu kepada Tuhan, kemudian bilang terima kasih
sesudah menikmatinya. Cara berpikir Negara Pancasila adalah menyadari
posisi Tuhan sebagai The Only Owner, Kepala Komisaris, dan inspirator
utama Dirut serta para Manager. Itulah Khilafah.
Kepada HTI maupun Polri sudah saya ungkapkan lebih banyak dan luas lagi.
Khilafah itu ilmu dan hidayah utama dari Tuhan. Kita bersabar
memahaminya, menyusun bagan dan formulanya. Yang utama bukan apa
aplikasinya, melainkan efektif atau tidak untuk membangun kemashlahatan
bersama, rahmatan lil’alamin dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Kita pastikan tidak “merusak bumi dan menumpahkan darah”
(definisi dari Allah swt), saling melindungi harta, martabat dan nyawa
satu sama lain (kriteria dari Rasul Muhammad saw).
Saya merasa tak banyak gunanya, tapi saya nekad ungkapkan tentang Enam
Tahap Evolusi di mana Globalisme saat ini berada pada Evolusi Empat.
Spektrum filosofi dan pemikiran manusia memangkas diri dan mandeg sejak
awal Masehi. Manusia diredusir hanya pada ilmu dan teknologi. Bluluk,
Cengkir, Degan dan Kelapa di-empat-kan, padahal ia satu yang berevolusi.
Dunia sekarang bertengkar, saling dengki dan membenci antara Peradaban
Bluluk, Peradaban Cengkir dan Peradaban Degan, yang bersama-sama
memusuhi Peradaban Kelapa. Para pelaku Wacana Kelapa juga kebanyakan
masih berpikir secara Degan, berlaku secara Cengkir, bahkan jumud dalam
semangat Bluluk.
Banyak lagi spektrum nilai yang saya nekad kemukakan. Khusus kepada
teman-teman Polri saya mohon agar “jangan terlalu garang dan melotot
kepada rakyat”. Saya kutip An-Nas yang berisi anjuran Tuhan tentang
pengelolaan sosial. Default tugas mereka adalah kasih sayang dan
pengayoman (Rububiyah, “qul a’udzu bi Rabbinnas”). Kalau tidak sangat
terpaksa jangan sampai pakai “Malikinnas” (Mulukiyah, kekuasaan),
apalagi “Ilahinnas” (kekuatan politik dan militeristik) di mana aspirasi
rakyat yang tidak sejalan dengan kemauan penguasa dibanting, dihajar
dengan Tongkat Perppu, dipaksa “ndlosor”, menyembah Penguasa.
Kapan-kapan Indonesia perlu punya Pemimpin yang “Rububiyah”.
Termasuk teminologi tentang Radikal, Fundamental, Liberal, Moderat:
afala ta’qilun, tidak engkau olahkah dengan akalmu, kenapa engkau telan
begitu saja? Apalagi salah tuding tentang yang mana yang radikal. Tetapi
kemudian saya menyadari bahwa seluruh proses Indonesia ini tidak
memerlukan apapun dari saya. Kalimat-kalimat kasih sayang saya “blowing
in the wind”, kata Bob Dylan, “tertiup di angin lalu”, kata Kang Iwan
Abdurahman, atau “bertanyalah kepada rumput yang bergoyang”, kata adik
kesayangan saya Ebiet G. Ade.
Tetapi Indonesia sungguh perlu banyak-banyak berpikir ulang. Masalah
tidak cukup diselesaikan dengan kekuasaan. Waktu terus bergulir dan
seribu kemungkinan terus berproses. Apalagi banyak “talbis” dan
“syayathinil-insi”. Tidak semua hal bisa di-cover oleh kekuasaan.
Bhinneka Tunggal Ika adalah tak berhenti belajar mencintai dan saling
menerima. Cinta plus Ilmu = Kebijaksanaan. Cinta minus Ilmu =
Membabi-buta. Cinta plus Kepentingan = Kalap dan Penyanderaan. Kebencian
plus Kepentingan = Otoritarianisme alias Firaunisme. Dan masa depan
Firaun adalah kehancuran. Di ujung turnamen nanti Tongkat Perppu Firaun
akan ditelan oleh Tongkat Musa.
Bangsa Indonesia ini Subjek Besar di muka bumi. Ia punya sejarah panjang
tentang kebijaksanaan hidup dan peradaban karakter manusia. Bangsa
Indonesia ini Garuda, bukan bebek dan ayam sembelihan. Indonesia adalah
Ibu Pertiwi, bukan perempuan pelacur. Indonesia adalah Hamengku-Bumi,
pemangku dunia, bukan ekor globalisasi. Barat di-ruwat, Arab di-garap,
kata penduduk Gunung Merapi. Indonesia adalah dirinya sendiri.
Oleh Cak Nun
sumber: http://www.opinibangsa.id/2017/07/cak-nun-jangan-anti-khilafah-jangan.html